Oleh Hisar SitanggangBandarlampung (ANTARA News) - "Kalau hanya mengandalkan sebagai petani, jelas saya tidak mampu menghidupi keluarga. Untung saja sekarang bisa bekerja sebagai tukang bangunan," kata Subardi, petani gurem asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan.Ditemui ketika sedang membangun rumah orang lain di Sukarame, Bandarlampung, ayah tujuh anak yang biasa dipanggil "Pak De" itu bercerita bahwa dia ikut orang tuanya bertransmigrasi dari Sleman, Yogyakarta, ke Lampung, ketika ia masih kanak-kanak.Pekerjaan utama lelaki (60) itu ialah mengolah tanah seluas 0,5 ha yang ditanami padi pada musim hujan dan sayur-sayuran pada musim peralihan.Rumahnya seluas 64 m2, berlantaikan tanah dan berdinding anyaman bambu. Jalanan menuju rumahnya belum beraspal. Beban hidup yang makin berat juga diakui sejumlah petani gurem lainnya, seperti Subari (32) asal Desa Marga Raya, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan. Ia buruh tani yang bersama orang tuanya menggarap sawah tadah hujan seluas satu hektare di Desa Marga Raya. Lahan itu hanya bisa ditanami padi sekali setahun, yakni saat musim hujan. Produksi padi tahun ini memang lumayan banyak, mencapai 10 ton. Namun 50 persen di antaranya harus disetorkan ke pemilik sawah, setelah dikurangi biaya produksi. Saat musim kemarau, ayah satu anak itu terpaksa menganggur di rumah yang luasnya 54 m2, berlantaikan semen dan berdindingkan anyaman bambu, karena tanah garapan itu tidak bisa ditanami jagung atau sayur-sayuran. Hidup yang makin susah adalah keluhan yang kerap dilontarkannya, apalagi harga pupuk melonjak dan sulit didapatkan, jalan desa semakin rusak serta produksi dan nilai jual gabah cenderung menurun. Petani berusia produktif lainnya, Sunaryo, asal Desa Marga Agung, Kecamatan Jati Agung (Lamsel), malah menyatakan "kehidupan" petani lebih enak di zaman kepemimpinan Soeharto. Alasannya sederhana, ketika itu dia mudah mendapatkan pupuk bersubsidi dengan harga murah, berbeda dengan kondisi sekarang ketika pupuk semakin langka dan mahal. Ia mengaku memiliki 0,5 ha sawah tadah hujan yang ditanami padi dan jagung atau sayur-sayuran sebagai tanaman selingan. Sekali berproduksi bisa menghasilkan dua ton padi, namun hasil itu tetap tidak bisa mencukupi biaya keluarganya. Karenanya, ia harus bekerja sampingan sebagai buruh tani atau buruh penggilingan padi agar bisa membiayai keluarga serta menyekolahkan anak-anaknya. Komoditas politik Begitulah kenyataan sebagian masyarakat Indonesia yang mudah ditemui bukan hanya di Lampung, ketika negeri ini kembali akan disibukkan oleh pemilihan presiden. Bagi yang suka menyindir, sering disebut bahwa para juru kampanye sudah memiliki bahan yang bagus untuk menjual programnya. Masalah pertanian dan kemiskinan di berbagai negara berkembang memang sering ditarik ke wilayah politik, sehingga petani dan masalah kemiskinannya sering dijadikan sebagai komoditas politik. Dalam berbagai kampanye pemilihan kepala daerah di Indonesia, termasuk dalam kampanye Pemilu 2004, masalah kemiskinan dan pengangguran serta janji-janji untuk mengatasinya tetap menjadi komoditas yang kerap dilontarkan para elit politik. Menjadikan kemiskinan dan beban petani sebagai komoditas politik tentu akan berdampak pada munculnya kecurigaan di antara mereka yang bersaing di dunia politik, sehingga revitalisasi pertanian sebagai pilar untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran menjadi terabaikan. Di Indonesia, upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan dilakukan dengan berbagai progam, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dana PNPM tahun 2008 yang disediakan pemerintah sebesar Rp13,289 triliun, dan ditujukan untuk memberdayakan kelompok masyarakat yang rentan miskin, seperti kelompok perempuan, petani gurem, buruh, nelayan, penyandang cacat, penderita penyakit menahun dan korban bencana alam/konflik sosial. Sedangkan dana BLT yang disediakan tahun anggaran 2008 mencapai Rp14,1 triliun untuk 19,1 juta rumah tangga miskin, sebagai kompensasi pengurangan subsidi BBM pada Mei lalu. Selain itu, pemerintah juga berencana menyiapkan dana BLT untuk petani di tahun 2009. Penggelontoran dana besar BLT itu menimbulkan tanggapan beragam. Meski pemerintah mengklaim program BLT sebelumnya tepat sasaran, namun elit politik memandangnya justru mendidik masyarakat menjadi pemalas. Kadin Indonesia malah menyarankan agar dana itu digunakan untuk program padat karya di bidang pertanian, karena mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak serta dapat meningkatkan produksi pangan. Terlepas dari sudut pandang berbeda dalam melihat BLT dan kemiskinan itu, sektor pertanian sering disebut sebagai bidang yang perlu segera direvitalisasi ketika sebagian besar penduduk Indonesia semakin miskin, terutama pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun lalu. Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2008, menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Arizal Ahmaf, mencapai 34,96 juta orang, atau turun 16,58 persen dibandingkan jumlah penduduk miskin per Maret 2007. Penurunan harga beras menjadi salah satu faktor penyebab turunnya jumlah penduduk miskin itu. Penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan tidak mengalami perubahan mendasar dengan data tahun sebelumnya. Hampir 63,47 persen penduduk miskin berada di pedesaan, dan 70 persen penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Petani di Indonesia memang sering mengalami ironi, yakni mereka tetap miskin atau tidak sejahtera meski harga pangan dunia naik dan kontribusi mereka terhadap pembangunan perekonomian nasional sangat besar. Saat harga gabah dunia melonjak, ekspor beras dalam negeri tidak dibolehkan untuk mengamankan ketahanan pangan dalam negeri. Untuk itu, petani harus berkorban demi kepentingan nasional. Namun, ketika harga beras petani anjlok dan biaya produksi membengkak, tidak ada imbalan setimpal atas pengorbanan mereka. Jasa dan pengorbanan petani itu bisa dilihat dari kondisi Indonesia yang relatif kondusif ketika harga pangan dunia melonjak, yang mengakibatkan terjadi kerusuhan di berbagai negara, seperti di India, Meksiko, Yaman, Senegal dan Kamerun. Meski demo menentang kenaikan BBM di dalam negeri sempat meluas pascakenaikan harga BBM pada akhir Mei lalu, namun aksi itu tidak sampai menimbulkan terjadinya tindakan anarkis-destruktif yang masif. Salah satu penyebabnya adalah terjaminnya ketahan pangan sehingga letupan kekecewaan tidak sampai menimbulkan rakyat menjadi marah. Revitalisasi pertanian Melihat peran sangat penting sektor pertanian bagi perkembangan perekonomian nasional, banyak yang menyebut bahwa pemerintah seharusnya mengembangkan atau merevitalisasi pertanian secara serius sebagai pilar utama dalam mengentaskan masyarakat Indonesia dari kemiskinan. Hal itu juga disebut oleh tokoh nasional H Wiranto. Menurut Wiranto, jika pembangunan berbasis pertanian dikembangkan maka Indonesia akan mampu mempertahankan kembali swasembada pangan sekaligus sebagai negara industri agraris, serta akan mampu mengurangi penduduk miskin dan membuka lapangan kerja, seperti halnya di Cina, Thailand, Vietnam dan India. Setidaknya, ada sejumlah rincian yang diharapkan bisa dijalankan agar sektor pertanian membaik dan bukan sekadar menjadi bahan kampanye semata. Pertama, Membangun infrastruktur yang mendukung perekonomian perdesaan. Itu merujuk pada kenyataan bahwa waduk dan saluran irigasi sekarang banyak yang tidak berfungsi, sementara pertanian di luar Pulau Jawa umumnya masih mengandalkan air hujan. Akibatnya, produktivitas sawah menurun dengan kualitas hasil pertanian yang rendah juga. Selain itu, jalan-jalan pedesaan umumnya rusak sehingga menambah biaya produksi dan biaya transanksi hasil pertanian. Jalanan yang rusak juga berdampak penurunan mutu hasil pertanian yang cepat rusak, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Kedua, menjamin pendistribusian pupuk bersubsidi dan obat-obatan pertanian dengan harga bersubsidi, serta membantu petani mengembangkan pupuk organik. Sudah menjadi kelaziman di era reformasi ini bahwa pupuk bersubsidi semakin langka dan harganya tinggi, berbeda sekali dengan era pemerintahan Orde Baru ketika pupuk mudah ditemukan dengan harga terjangkau. Ketiga, meregulasi perubahan fungsi lahan pertanian, karena hampir 1,3 persen luas sawah setiap tahunnya berubah fungsi untuk kepentingan nonpertanian, seperti perumahan dan industri. Pengaturan ulang itu di antaranya akan mendorong masyarakat untuk tidak mudah menjual tanahnya dengan alasan konsumtif. Keempat, membuka akses petani kepada akses modal, pemasaran, dan teknologi pertanian. Dengan demikian, harus ada kepastian kepemilikan petani atas tanah atau dilaksanakan redistribusi tanah yang produktif. Status yang jelas dalam hal penguasaan tanah, misalnya sertifikat tanah, bisa untuk agunan mendapatkan bantuan permodalan. Modal itu bisa didapatkan melalui lembaga keuangan perbankan atau koperasi perdesaan. Agar petani tidak tambah miskin karena dana pinjamannya "hangus" terpakai tidak produktif, maka kewajiban pemerintah untuk memberikan pengetahuan di bidang teknologi pertanian serta membuka akses petani untuk memasarkan hasil produksinya. Petani sejak pratanam hingga pascapanen perlu mendapatkan ilmu terapan teknologi pertanian, agar mereka bisa mendapatkan hasil yang optimal. Dengan demikian, mereka menggunakan bibit unggul pada pratanam serta mampu menekan kehilangan pada pascapanen. Sebagai contoh, dengan menerapkan gerakan penanganan pascapanen dan pemasaran gabah/panen di 17 provinsi dan 72 kabupaten pada panen tahun 2008, pemerintah memperkirakan dapat menyelamatkan sedikitnya 200 ribu ton beras. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan Djoko Said Damardjati, di Lampung Tengah, belum lama ini, mengatakan, jika produksi beras nasional sebanyak 33 juta ton dan perkiraan kehilangan 5 persen, maka beras yang berhasil diselamatkan sekitar 1,5 juta ton atau setara Rp6 triliun dengan harga beras Rp4.000 per kilogram. Setelah itu, petani perlu dibantu dalam pemasaran hasil produksinya agar mereka mendapatkan nilai tambah dari hasil penjualan tersebut. Jika akses terhadap pemasaran tidak dibuka, maka yang menikmati keuntungan adalah pedagang pengumpul, tengkulak dan pengusaha, seperti yang selama ini terjadi. Melihat potensi besar sektor pertanian untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, berbagai kalangan mengharapkan pemerintah untuk lebih serius mengembangkan kebijakan pembangunan berbasis pertanian.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008