Tenggarong, Kaltim, (ANTARA News) - Jika melihat dari sosok dan penampilan fisiknya, mungkin tidak banyak orang yang mengira kalau Pak Suroso (62) tahun merupakan seorang atlet, yaitu dari cabang panahan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII Kalimantan Timur. Namun ratusan pasang mata terbelalak, ketika pria kelahiran Solo, Jawa Tengah 5 Desember 1946 itu muncul dan naik panggung penghormatan, untuk menerima pengalungan medali perunggu di Kompleks olahraga Perjiwa, Tenggarong, Minggu. Pria bertubuh ramping dan berperawakan tidak terlalu tinggi itu teryata masih "bergigi", bahkan berhasil menyisihkan puluhan atlet panahan muda lainnya dan berhasil menyumbang perunggu untuk Lampung dari nomor ronde tradisioanal perorangan putra. Pak Suroso, dengan nama lengkap Suroso Wiro Kartono itu berhasil mengukir prestasi yang tergolong luar biasa, terutama jika diukur dari kondisi fisik dan usianya. Medali emas di nomor ini disabet pemanah muda, Eko Triyanto dari Jawa Tengah dengan mengumpulkan nilai tertinggi selama dua hari berlombaan sebanyak 2.066, kemudian perunggu untuk Sugeng Marsanto dari Jawa Barat dengan skor 2.052. Sementara Pak Suroso juga meraih medali perunggu dengan mengumpulkan total skor 1.997. Segera setelah turun dari panggung, Pak Suroso masih didaulat oleh para juru foto, baik panitia, manajer panahan Lampung, Puryoto, serta para wartawan agar dia berdiri sejenak di atas panggung sambil mengangkat medali dan bonekanya untuk dijepret berulang kali. "Pak..., Pak..., tolong angkat medali dan bonekanya ya Pak.... ," teriak para juru foto. Bahkan ada pula yang iseng, meminta agar Pak Roso menggigit medalinya saat difoto, tapi Pak Roso hanya tersenyum tersipu malu, sambil turun panggung lalu segera menerima jabat tangan dari manajer serta atlet panahan putra-putri rekan sedaerahnya. Mungkin karena mungkin diaggap atlet yang "agak nyeleneh", beberapa reporter televisi baik lokal maupun nasional segera menghampiri Pak Suroso untuk diambil gambarnya sekaligus wawancara. Pak Roso pun nampak menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dengan lantang. Tujuh Kali PON PON XVII Kaltim 2008 ini merupakan yang ketujuh kali diikutinya, dengan spesialisasi di Ronde Tradisional dengan prestasi tertinggi medali emas pada PON 1996 di Jakarta. Pria dengan tiga orang anak sering bolak-balik Solo- Lampung karena selain mengikuti pelatda di Lampung, ia juga memiliki rumah di di Solo, tempat keluarganya menetap. Ketika ditanya mengapa sudah usia lanjut masih juga mau menjadi atlet PON, Suroso mengaku ia memang selalu lolos setiap kali diadakan seleksi. "Kalau pada PON, pretasi tertinggi saya meraih medali emas pada PON 1996, juga di spesialis Ronde Tradisional jarak 30 meter, tapi kalau perak dan perunggu sudah sering. Klau medali emas kejuras dan sejenisnya sudah sering, jumlahnya tidak terhitung lagi," katanya dengan wajah ceria dan tetap penuh semangat. Sehari-hari Suroso mengelola bisnis dan pekerjaan yang cukup langka yang membuat dicari-cari atlet panahan, yaitu membuat busur panahan Ronde Tradisional dan peralatan pendukungnya. "Usaha saya antara lain ya itu, membuat peralatan panahan Ronde Tradisional. Lumayan banyak rekan dari berbagai daerah yang memesan untuk berlomba," katanya. Diantara daerah yang sering memesan peralatan buatannya, selain dari Lampung, juga Kaltim, Kalsel, dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Manajer tim panahan PON XVII 2008 Lampung Puryoto mengaku bangga dengan kegigihan atletnya yang paling senior itu. "Terus terang saya salut dengan Pak Suroso, mudah-mudahan keuletan dan prestasi yang beliau capai itu bisa menjadi motivasi dan contoh bagi para atlet panahan Lampung yang masih muda, agar prestasi olahraga panahan Lampung bisa terus menigkat di masa yang akan datang," demikian Puryoto. Pujian juga datang dari I Gusti Nyoman Budiana, salah satu Pengurus Besar Persatuan Olahraga Panahan Indonesia (PB Perpani). "Pak Suroso memang kita akui dengan kegigihannya itu, mudah-mudahan bisa ditiru oleh para juniornya," katanya. Namun Nyoman menyarankan agar Pak Suroso bersedia menjadi pelatih jika sudah pensiun sebagai atlet, agar ilmu, keterampilan, dan prestasinya itu bisa ditularkan ke para calon atlet panahan muda generasi penerusnya.(*)
Pewarta: Oleh M. Tohamaksun
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008