Ambon (ANTARA) - Pascagempa bumi magnitudo 6,5 melanda Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September 2019, aktivitas ekonomi di sebagian besar desa pesisir di Kecamatan Leihitu (Pulau Ambon), Kabupaten Maluku Tengah masih belum berjalan normal, akibatnya warga kesulitan mendapatkan bahan pangan.
Pantauan di lokasi, Selasa, warga Leihitu yang was-was dengan gempa susulan yang masih terasa dan memilih tetap berada di lokasi pengungsian, mulai kesulitan mendapatkan pasokan bahan pangan karena aktivitas ekonomi belum berjalan normal.
Warga Desa Hitu Lama, Faisal Pelu (23) mengatakan warga setempat mulai kesulitan mendapatkan pasokan bahan pangan karena pasar tradisional yang berada di sekitar Pelabuhan Hitu masih tutup, dan angkutan umum menuju Kota Ambon juga belum beroperasi sejak gempa pertama terjadi.
Baca juga: Masa tanggap darurat gempa Ambon 14 hari
Sulitnya mendapatkan pasokan bahan pangan membuat warga mulai kebingungan. Sedangkan untuk saat ini baru komunitas perhimpunan pemuda, pelajar, mahasiswa Hitu Lama (Hipmahil) yang bergerak mengumpulkan bantuan dan membagikannya kepada pengungsi setempat.
Bantuan tersebut juga belum cukup untuk semua pengungsi, karena di lokasi-lokasi pengungsian yang ada terdapat juga warga dari Desa Hitu Messing, Mamala dan Morela.
"Kami memang tidak parah kondisinya, tidak ada korban jiwa, kerusakan fisik juga tidak terlalu parah, tapi aktivitas ekonomi sampai saat ini masih lumpuh, di pasar orang tidak ada aktivitas, tidak buka kios dan angkutan umum juga belum beroperasi," ucapnya.
Dikatakannya lagi, hampir satu pekan berada di lokasi pengungsian, sebagian warga, terutama lansia dan anak-anak mulai terserang diare, demam dan batuk, tapi hingga kini belum ada posko kesehatan yang ditempatkan di sana.
Baca juga: Sumbangan BUMN untuk korban gempa Ambon capai Rp1,5 miliar
"Kemarin kami mengevakuasi seorang nenek lansia berusia 80-an tahun dari pengungsian, beliau tidak bisa berjalan karena kakinya kedinginan hingga ke tulang," ujar Faisal.
Kesulitan yang sama juga disampaikan oleh warga Desa Morela yang masih takut untuk pulang, meski kondisi di lokasi pengungsian bisa dibilang cukup memprihatinkan karena sebagian besar warga tidak memiliki tenda untuk berlindung.
Yhani Manilet (24) misalnya. Menurut dia, sejak gempa pertama terjadi hingga kini, dirinya dan warga lainnya masih kesulitan mendapatkan terpal, karena tidak ada yang menjual barang tersebut di sana.
Baca juga: Mensos serahkan bantuan Rp1,3 miliar untuk korban gempa Ambon
"Di kampung kami tidak ada yang jual tenda atau terpal karena tidak ada toko-toko besar, hanya ada kios kecil. Warga mengupayakan apa yang ada saja, tapi kasihan saat hujan deras dan tenda bocor, seperti kami ini yang punya bayi," kata Yhani.
Gempa tektonik pada 26 September 2019 telah menyebabkan 30 rumah di Desa Morela dilaporkan mengalami rusak ringan dan sedang, sedangkan tiga rumah lainnya rusak parah.
Diketahui baru Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang menyalurkan bantuan tanggap darurat ke sana, berupa satu kilogram beras dan dua bungkus mie instan per kepala keluarga.
"Banyak di tempat pengungsian yang sudah mulai terserang sakit.Kemarin ada yang diupayakan dibawa ke rumah sakit di kota, bibi saya karena pusing mau ukur tekanan darah juga tidak bisa karena tidak ada tenaga medis," ucap Yhani.
Baca juga: Ahli: Gempa Ambon berbeda dengan yang pernah terjadi sebelumnya
Baca juga: Mendikbud bertemu siswa terdampak gempa di Pulau Ambon
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019