Jakarta (ANTARA News) - Kondisi kelistrikan kini benar-benar mengalami kondisi krisis. Kalau sebelumnya, pemadaman listrik, khususnya di Ibukota Jakarta, masih jarang terjadi. Namun sekarang, pemadaman listrik bergilir mengancam setiap saat. Terakhir, akibat terganggunya pasokan gas ke PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok, wilayah Jakarta dan sekitarnya mesti mengalami pemadaman listrik bergilir tidak kurang selama dua minggu yakni 11-25 Juli 2008. Pemerintah beralasan seringnya pemadaman listrik sekarang ini dikarenakan keterbatasan daya pembangkit baik yang dimiliki PT PLN (Persero) maupun swasta. Total daya pembangkit di seluruh Indonesia saat ini mencapai 29.705 MW, yang terdiri dari Jawa-Bali 22.302 MW dan luar Jawa-Bali 7.403 MW. Sebanyak 24.856 MW di antaranya merupakan milik PLN dengan komposisi Jawa-Bali 19.283 MW dan luar Jawa-Bali 5.573 MW. Sedang, sisanya milik swasta. Beban puncak di Jawa Bali kini sudah mencapai 17.000 MW. Artinya, dengan daya terpasang 22.000 MW, maka cadangan daya pembangkit hanya tersisa 5.000 MW atau hanya sekitar 20 persen. Padahal, suatu negara idealnya memiliki cadangan minimal 30 persen. Tak mengherankan, dengan keterbatasan daya, PLN terpaksa melakukan pengendalian beban, yang di antaranya bisa berupa pemadaman listrik bergilir. Keterbatasan daya pembangkit yang terjadi sekarang ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi pada 1998 lalu. Sejak krisis bermula sampai saat ini, pembangkit yang dibangun PLN hanya sekitar 3.000 MW, sementara permintaan listrik mencapai 3.000 MW per tahun. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui, pembangunan pembangkit baru terhambat akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini tahun 1998 lalu. Pemerintah baru berpikir membangun pembangkit pada 2005 melalui program percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW dan sejak 2006 dilaksanakan pembangunannya. Di sisi lain, permintaan listrik tetap meningkat, bahkan cukup tinggi di luar perkiraan. Ekonomi berkembang, sehingga permintaan listrik pun naik. "Kalau sekarang ini listrik mati, sebenarnya bukan saja berarti ada kesulitan, tapi kemajuan. Coba lihat hampir semua gedung pakai AC, kantor camat pun pakai," kata Kalla. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menambahkan, kenaikan permintaan listrik juga dikarenakan industri yang sebelumnya memakai generator sendiri, beralih ke listrik PLN yang disubsidi pemerintah, menyusul tingginya harga BBM. Akibatnya, jika ada pembangkit yang mengalami gangguan, maka cadangan daya akan semakin turun dan pemadaman listrik pun tidak terhindarkan. Dengan kondisi seperti itu, pemerintah menginginkan pelanggan sedikit mengurangi atau menghemat konsumsi listriknya. Pemerintah tengah menggodok surat keputusan bersama penghematan energi yang ditandatangani lima menteri yakni Menperin, Menneg BUMN, Menteri ESDM, Mendagri, dan Menakertrans. Inti SKB adalah mengalihkan sebagian jam kerja industri saat puncak pemakaian listrik Senin-Jumat ke Sabtu-Minggu atau hari libur yang terdapat kelebihan 1.000-2.000 MW. Menurut Wapres, penghematan harus terus dilakukan sampai setidaknya proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW kelar. Obat Krisis Dirut PLN Fahmi Mochtar mengatakan, proyek 10.000 MW akan menjadi jawaban mengatasi krisis kelistrikan yang terjadi saat ini. "Proyek ini akan menjadi obat dari krisis listrik sekarang ini," katanya. Proyek 10.000 MW akan menutupi kekurangan tambahan daya pembangkit yang terhambat pembangunannya akibat krisis ekonomi lalu. Krisis ekonomi telah membuat PLN kehilangan momentum membangun pembangkit baru. "Dampaknya baru kita rasakan hari ini berupa krisis listrik di beberapa daerah," lanjutnya. Fahmi juga mengatakan, proyek 10.000 MW akan mengatasi ketimpangan antara harga penjualan listrik yang hanya Rp626,86 per kWh dengan biaya produksi Rp1.304 per kWh. Tingginya biaya produksi dikarenakan ketergantungan porsi BBM dalam bauran energi primer pembangkit masih tinggi, yakni mencapai 34 persen, namun menghabiskan biaya hingga 78 persen. Dengan dibangunnya proyek 10.000 MW, maka porsi BBM dalam bauran energi tinggal tiga persen yang juga menurunkan konsumsi biaya menjadi hanya 13 persen. Sebaliknya, porsi batubara pada 2010 akan mendominasi bauran energi primer pembangkit yakni mencapai 67 persen dengan biaya 51 persen. Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Yogo Pratomo meyakini, meski di awal banyak menghadapi berbagai kendala, proyek 10.000 MW akan beroperasi sesuai target. "Kami optimis proyek ini berjalan sesuai rencana yakni 10 persen penyelesaian tahun 2009, 80 persen 2010, dan 100 persen tahun 2011," katanya. Saat ini, status 10 proyek yang berada di Jawa, adalah sembilan proyek berdaya 6.672 MW sudah menjalani tahap konstruksi dan satu proyek berdaya 600 MW berupa persiapan tender ulang. Sedang, dari 30 lokasi di luar Jawa, sebanyak 18 proyek berdaya 1.506 MW telah menandatangani kontrak pembangunan, tujuh proyek 449 MW telah menandatangani "letter of intent" (LoI), dan lima proyek lainnya 304 MW masih persiapan tender. Tahun 2009, proyek 10.000 MW yang dijadwalkan beroperasi yakni PLTU Indramayu, Jabar, PLTU Rembang, Jateng, dan PLTU Labuan, Banten. Yogo mengatakan, pada saat awal, memang mega proyek tersebut menghadapi sejumlah kendala seperti tumpang tindih lahan terutama dengan lahan hutan. pencairan pendanaan dikarenakan perlunya jaminan penuh pemerintah, hingga infrastruktur pengadaan batubaranya seperti pelabuhan dan jalan. Kendala-kendala tersebut, lanjutnya, membutuhkan waktu cukup panjang dalam penyelesaiannya. "Berbagai kendala tersebut membuat jadwal sedikit bergeser, tapi kami akan kejar dari sisa waktu yang ada, sehingga proyek dapat beroperasi sesuai target," katanya. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana mengatakan, DPR akan mengawal proyek 10.000 MW agar berjalan sesuai target dengan kualitas yang baik. "Program ini perlu didukung. Bahkan, lebih baik lagi kalau ada program 10.000 MW tahap selanjutnya karena kita masih membutuhkan banyak pembangkit untuk melistriki seluruh masyarakat," katanya. Pemerintah kini memang tengah menggodok rencana pembangunan proyek pembangkit 10.000 MW tahap kedua. Pengalaman program 10.000 MW yang pertama bisa menjadi pelajaran agar pembangunan tahap selanjutnya berjalan lebih cepat. Kebutuhan listrik akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang dan mesti diantisipasi secara cepat, sehingga krisis listrik seperti sekarang ini tidak terjadi lagi. (*)
Oleh Oleh Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2008