Oleh Dewanti Lestari Jakarta (ANTARA News) - "Ia adalah seorang yang luar biasa di bidangnya," kata pakar dirgantara Adi Sadewo Salatun saat menyampaikan kesannya terhadap pakar aerodinamika, Prof DR Said Djauharsjah Jenie, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat pukul 07.48 WIB. Menurut Salatun, yang Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), bidang dinamika wahana antariksa berbadan besar yang elastis yang ditekuni Said adalah bidang yang sangat rumit dan disegani. "Karyanya yang paling menonjol adalah N-250, pesawat pertama di dunia kelas two-engine, fly by wire (terkomputerisasi) dengan 50 penumpang, yang dirancangnya dari mulai disain hingga terbang," ujarnya. Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS) itu, menurut Salatun, bahkan tidak segan-segan turut terbang ke udara pada percobaannya. Saat itu, Said masih menjabat sebagai Direktur Teknologi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI). Salatun juga menyesalkan, maha karya tersebut terpaksa dihentikan setelah dibuat dua unit. Padahal, ia menilai, permintaan masyarakat dunia dan domestik untuk pesawat sekelas N-250 itu tinggi, apa lagi harganya bersaing."Alasannya adalah situasi krisis keuangan dalam negeri yang tidak memungkinkan," ujarnya. Selain N-250, Said juga menjadi salah seorang tokoh untuk pesawat hasil kerjasama dengan Casa Spanyol, CN-235 yang kemudian sangat laku di pasar dunia, termasuk Angkatan Udara AS yang membeli 50 unit untuk versi Casa. "Tidak ada orang Indonesia seahli dia, selain teorinya kuat, praktiknya pun kuat. Kita kehilangan putera terbaik di bidang kedirgantaraan yang banyak menyumbangkan keahliannya dalam soal pesawat dan roket," katanya. Sementara itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kadiman, berkomentar bahwa Said Djauharsjah Jenie adalah sosok yang sangat pendiam, namun akan menjadi sangat cerewet jika dipancing untuk bicara seluk-beluk teknologi dirgantara, baik mengenai sejarahnya sampai pada hal-hal yang futuristik. Said juga memegang teguh nilai-nilai luhur dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya soal validitas, ujar Kusmayanto, sehingga ia tidak pernah terperangkap pada berita selentingan, rumor dan cerita isapan jempol. "Sebagai insinyur, beliau selalu mengatakan bahwa jangan pernah mengaku insinyur, jika tak punya kemampuan dan pengalaman merancang karya teknologi, yang dia pegang teguh dan sungguh-sungguh diterapkannya di BPPT dan PT Dirgantara Indonesia," katanya. Sebagai pengajar, Said yang wafat pada usia 58 itu sangat disiplin, dan terkenal sebagai orang yang mengajar sepenuh hati dengan menyampaikan teori-teori lengkap dengan contoh-contoh nyata sesuai pengalamannya, tambah Kusmayanto. Said mengawali karirnya sebagai staf pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 1974, hingga akhirnya menjadi Kepala Lab Ilmu-ilmu Fisika Terbang Jurusan Teknik Mesin ITB, dan menjadi Ketua Jurusan Teknik Penerbangan hingga Guru Besar ITB sampai akhir hayatnya. Alumni ITB Jurusan Teknik Penerbangan sejak 1973 itu meneruskan kuliahnya ke perguruan tinggi bergengsi di MIT Jurusan Aeronautics and Astronautics yang mendapat gelar master pada 1978, dan kembali meneruskan studi di tempat yang sama di jurusan astrodynamics hingga lulus pada 1982 bergelar doktor. Selama kuliahnya di AS, Said juga sempat menjadi asisten dosen dan menjadi asisten penelitian di universitas ternama itu, bahkan bersama MIT sempat bekerjasama dengan Badan Antariksa AS (NASA). Pada masa mudanya itu, ia juga sempat menjadi peneliti di Divisi Riset Independen Charles Stark Draper Lab di AS, dan peneliti di universitas tekbik (TU) Delft, Belanda. Said meski ditinggal wafat ayahnya sejak usia setahun, bersama Prof DR Umar Anggara Jenie, saudara kembarnya yang Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang lahir di Solo 22 Agustus 1950, dan dua saudaranya yang lain, tetap berprestasi. Karir Said di luar dosen juga mengagumkan, dari mulai menjadi Kepala Program Uji Terbang Pengembangan dan Sertifikasi CN-235 di IPTN pada 1982 sampai menjadi Direktur Teknologi di IPTN pada 1999, juga menjadi Staf Ahli Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) sejak 1989, dan Instruktur Guidance and Control Program Roket Kendali di Pusat Teknologi Dirgantara Lembaga Antariksa Nasional (Lapan) sejak 1987. Di BPPT, ia mengawali karir menjadi Kepala Tim Pengembangan Laboratorium Mekanika Terbang pada 1987 sampai menjadi pejabat tertinggi di badan tersebut sampai dengan tutup usia. Said juga menjadi anggota dari berbagai organisasi nasional dan internasional, seperti Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), hingga Institut Aeronotika Astronautika Indonesia (IAAI). Selain itu, ia juga tercatat menjadi anggota Society of Flight Test Engineers (SFTE), American Institute of Aeronautics and Astronautics (AIAA), Planetary Society, dan Institute for Electrical and Electronics Engineer (IEEE) yang semuanya di AS. Berbagai aktivitasnya itu membuat Said menerima berbagai tanda kehormatan, antara lain Adhi Cipta Rekayasa oleh Persatuan Insinyur Indonesia pada 1994, ASEAN Engineering Award pada 1994, Bintang Jasa Nararia dari Pemerintah RI pada Agustus 1995 hingga bintang jasa Utama dari presiden pada 2007. Ilmuwan besar tersebut kini telah tiada setelah menghembuskan nafas terakhirnya di RS Boromeus Bandung dan akan dimakamkan di pemakaman Pasarena, Yogyakarta. Ia tidak saja meninggalkan seorang istri, Sadarijah Laksmi Saraswati, dan dua anak Acih Nurul Jenie dan Gita L. Jenie, tetapi juga rakyat Indonesia yang masih membangun dan membutuhkan banyak ilmuwan perekayasa sekelasnya. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008