Oleh Arief MujayatnoJakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008 telah menyatakan bahwa pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pasal tersebut itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan itu mengabulkan permohonan uji materi tujuh partai politik peserta Pemilu 2004 yang berdasarkan ketentuan pasal 316 huruf d UU Pemilu itu tidak diperbolehkan ikut Pemilu 2009 karena tidak memiliki kursi di DPR RI. Ketujuh parpol itu, yakni Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka. Sebelumnya, berdasarkan ketentuan pasal itu pula Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sembilan parpol peserta Pemilu 2004 yang memiliki kursi di DPR RI sebagai peserta Pemilu 2009 tanpa proses verifikasi faktual, meski tidak lolos ketentuan electoral treshold (ET) pada Pemilu 2004. Kesembilan parpol itu adalah Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Pelopor, Partai Karya Perjuangan Bangsa (PKPB), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan PNI Marhaenisme. Meskipun tidak memenuhi syarat ET sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (1) UU Pemilu lama (Nomor 12 Tahun 2003), namun kesembilan partai itu dibolehkan ikut Pemilu 2009 berdasarkan ketentuan pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, karena mempunyai kursi di DPR. Ketujuh parpol pemohon uji materi itu menilai bahwa pasal 316 huruf d UU Pemilu bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), pasal 28I ayat (2) UUD 1945, serta menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Ketika membacakan putusannya, pimpinan majelis hakim konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa pasal 316 huruf d UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Bahwa pasal tersebut tidak jelas "ratio legis" dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi dari prinsip ET ke prinsip Parliamentary Threshold (PT) yang ingin diwujudkan pasal 202 UU Pemilu," kata Jimly dalam kesimpulannya. Majelis hakim juga menyatakan, parpol-parpol peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi ketentuan pasal 316 huruf d UU tersebut maupun yang tidak memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama. Pasal tersebut, menurut majelis hakim, merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004, yang tidak memenuhi ketentuan pasal 315 UU Pemilu, sehingga permohonan para pemohon cukup beralasan untuk dikabulkan. Jika mengacu pada ketentuan ET dalam UU Pemilu yang lama (No.12 Tahun 2003), maka hanya ada tujuh parpol dari 16 parpol yang mendapatkan kursi di DPR RI periode 2004-2009, yang bisa langsung ikut Pemilu 2009, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PKS. Namun, berdasarkan pasal pasal 315 dan 316 UU Pemilu yang baru (Nomor 10 Tahun 2008), sembilan parpol lain yang tidak lolos ET juga bisa langsung ikut Pemilu 2008. Bahkan, kini pun mereka telah mendapatkan nomor urut peserta Pemilu 2009. Implikasi putusan MK Putusan MK tersebut telah menimbulkan berbagai spekulasi dan pertanyaan terhadap implikasi putusan tersebut, apakah sembilan parpol yang tidak lolos ET tetapi telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009 tersebut harus diverifikasi ulang oleh KPU. Jika kemudian sembilan parpol itu harus diverifikasi ulang, apakah hal itu tidak menyebabkan tertundanya pelaksanaan Pemilu 2009. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Zaini Shofari menyatakan dengan putusan MK tersebut berarti ada sembilan parpol yang terancam gagal ikut pemilu karena mereka harus diverifikasi ulang oleh KPU jika ingin ikut Pemilu 2009. Sembilan parpol itu adalah parpol yang tidak lolos ketentuan ET pada Pemilu 2004 namun diloloskan sebagai peserta Pemilu 2009 berdasarkan UU Pemilu yang baru. Zaini menilai, putusan MK tersebut juga merupakan bukti bahwa kerja kalangan legislatif kurang peka terhadap kepentingan demokrasi. "Anggota legislatif jangan lebih suka mengedepankan agenda politik dan kompromi dengan melanggar aturan ketimbang melakukan gerakan serta kerja politik nyata yang diterima rakyat," tegasnya. Pembatalan pasal tentang ET itu, menurut PB PMII, juga bisa mengesankan ketidakmampuan parpol melalui fraksi-fraksinya di DPR RI dalam menempatkan kader-kadernya yang bagus dan peka terhadap kepentingan demokrasi serta hati nurani rakyat. Senada dengan itu, Ketua Umum Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Muchtar Pakpahan, menyatakan bahwa jika mengikuti putusan MK itu, maka berarti sembilan parpol yang telah dinyatakan lolos otomatis itu batal dan harus melewati tahap verifikasi oleh KPU. Dikatakannya, putusan MK itu konsisten dengan asas kepastian hukum, dan harus disambut gembira. Ia pun meminta KPU untuk mematuhinya. Namun demikian, Mochtar mengajukan kompromi politik seperti yang digariskan MK yakni asas persamaan yang berarti seluruh peserta Pemilu 2004 dinyatakan saja sebagai peserta Pemilu 2009. "Kalau KPU tidak mau menerima (kompromi politik) itu, berarti sembilan parpol itu inkonstitusional, harus dirontokkan," katanya. Sementara itu, Ketua Pansus RUU Pemilihan Umum (Pemilu) dan RUU Pemilihan Presiden DPR RI Ferry Mursydan Baldan menegaskan bahwa putusan MK tersebut tidak bisa menganulir atau mengganggu proses persiapan Pemilu 2009 yang telah dilakukan KPU. Menurut dia, putusan MK itu berlaku untuk masa mendatang dengan terlebih dahulu diawali dengan revisi terhadap UU tentang Pemilu. Ia mengatakan, putusan itu berlaku seperti ketika MK pada tahun lalu mengabulkan gugatan mengenai calon independen dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah dan DPR kemudian sepakat bahwa keputusan MK tidak berlaku serta-merta karena keberadaan calon independen harus diatur terlebih dahulu melalui revisi UU yang mengatur Pilkada. "Kami menghargai keputusan MK yang mengabulkan gugatan partai yang tidak memiliki kursi di DPR. Namun keputusan MK tidak bisa menganulir tahapan pemilu yang sudah berjalan," kata politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu. Putusan MK itu, menurut dia, juga tidak serta merta mengharuskan KPU untuk meralat kembali hasil penentuan nomor urut yang telah dilakukan pada Rabu (9/7). "Artinya, sebelum ada UU pengganti, KPU tetap harus bekerja sesuai dengan aturan perudangan yang ada, yaitu UU 10/2008," katanya. Seperti halnya Ferry, pakar hukum tatanegara yang juga Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, seperti dikutip dalam laman pribadinya menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidaklah mempengaruhi keabsahan keputusan KPU yang menyatakan 34 partai politik ikut Pemilu 2009, termasuk sembilan partai yang tidak lulus ET menurut UU Nomor 12 Tahun 2003, tetapi dibolehkan oleh pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008. "Keputusan KPU itu tidak dapat dibatalkan karena putusan MK tidak berlaku surut. Tahapan-tahapan Pemilu yang telah dilaksanakan oleh KPU yang juga didasarkan atas UU No.10 Tahun 2008 itu tetap berjalan sebagaimana mestinya, termasuk undian nomor urut peserta Pemilu yang telah dilakukan tiga hari yang lalu," katanya. Pernyataan Ferry dan Yusril tersebut juga diperkuat anggota KPU, Andi Nurpati, yang menegaskan bahwa tahapan pemilu yang telah berjalan tidak bisa diulang kembali, karena putusan MK itu dikeluarkan setelah peserta pemilu 2009 ditetapkan. "Tahapan ini harus jalan terus. Bagaimana mungkin kita samakan dengan partai lain yang harus mengikuti proses dari awal. Apalagi Agustus sudah masuk tahapan pengusulan calon legislatif, tahapan ini tidak bisa ditunda," katanya. KPU tidak dapat langsung mengambil tindakan seperti saat MK mengabulkan uji materi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang syarat domisili dan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Saat itu, putusan MK keluar sebelum penutupan pendaftaran calon anggota DPD sehingga KPU dapat segera menyesuaikan. Implikasi terhadap putusan MK itu nampaknya akan ditentukan oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, yang telah menyatakan akan segera berkoordinasi dengan pemerintah dan DPR. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008