Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Republik Indonesia lewat Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, di Jakarta, Jumat, menyatakan protes keras terhadap pemeringkatan negara-negara hijau, negara pro-lingkungan, versi Universitas Yale, Amerika Serikat (AS).
"Staf ahli saya akan berangkat pada pekan depan ke Universitas Yale, dan ia akan menyatakan kepada para peneliti di Yale bahwa pemeringkatan mereka itu tidak adil, tidak menggunakan data yang terbaru, dan absurd," ujar Rachmat Witoelar di Jakarta, Jumat.
Peringkat Negara Hijau Dunia hasil kajian Universitas Yale yang diberitakan oleh majalah `Newsweek` edisi 7-14 Juli menempatkan Indonesia di posisi 102 dari total 149 negara yang diamati.
Dalam salah satu halaman "Newsweek" ditampilkan artikel alasan Indonesia ditempatkan di ranking berkategori "buruk" alias tidak pro-lingkungan, dan argumen utamanya adalah laju kerusakan hutan.
"Saya menilai ranking itu absurd dan tidak profesional karena para penelitinya tidak membaca laporan terbaru tentang emisi gas rumah kaca dari kerusakan hutan," kata Rachmat.
Lebih lanjut ia menjelaskan, emisi gas rumah kaca di Indonesia 85 persen di antaranya bersumber dari kebakaran hutan, pembukaan dan alih fungsi lahan.
"Data yang mereka pakai adalah data hutan Indonesia tahun 2005 ketika banyak titik panas berubah menjadi kebakaran sporadis. Tapi `kan sekarang kondisinya sudah tidak ada kebakaran hutan, kalaupun ada titik-titik panas masih bisa dikendalikan sehingga tidak menjadi kebakaran yang besar," kata dia menjelaskan.
"Dosa kita soal emisi `kan cuma karena kebakaran hutan, jadi seharusnya mereka memutakhirkan kondisi sekarang dan ranking yang pantas kira-kira 50 lah ... itu masuk akal," tambahnya.
Pemeringkatan versi Yale memposisikan posisi Indonesia bahkan jauh lebih buruk daripada Sri Lanka, yang ada di urutan 50 dan Malaysia yang di posisi 26.
Sementara negara yang dinobatkan sebagai negara paling pro-lingkungan adalah Swiss.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008