Jakarta (ANTARA) - Worldometers memperkirakan populasi penduduk dunia pada 2019 diperkirakan mencapai 7,7 miliar jiwa, yang sekitar seperlimanya atau 1,4 miliar merupakan penduduk yang beragama Islam (muslim).
Jumlah penduduk muslim dunia tersebut merupakan pangsa pasar yang sangat besar dan sekaligus tantangan bagi pelaku bisnis wisata untuk menarik minat mereka agar mau berkunjung dan belanja (spending) ke destinasi wisata yang dikelolanya.
Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index 2018 menyebutkan, pada 2020 Asia Tenggara akan kedatangan wisatawan muslim sebanyak 18 juta orang, dan 15 persen di antaranya akan berkunjung ke negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim termasuk Indonesia.
Wisatawan muslim dunia saat ini menjadi sebuah segmen pasar yang terus berkembang. Tak pelak lagi hal ini juga menjadi ajang diskusi para pelaku bisnis wisata plesiran (leisure) maupun wisata bisnis (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition/MICE) di ajang pameran wisata 2019 pada 24-26 September lalu di Bangkok Thailand yang dihadiri pelaku bisnis wisata di kawasan Asia-Pasifik.
Para pelaku bisnis wisata di kawasan Asia-Pasifik itu terutama yang negaranya mayoritas muslim harus mengerti dan memahami apa saja kebutuhan dan keinginan wisatawan muslim, sehingga dapat memperoleh manfaat ekonomi dari arus masuk wisatawan muslim dunia ke berbagai destinasi wisata.
Ceruk pasar wisatawan muslim yang besar tersebut saat ini menjadi rebutan pelaku bisnis wisata, bahkan pelaku bisnis wisata yang penduduknya mayoritas nonmuslim sangat gencar dan serius mempromosikan dan memasarkan destinasi wisatanya.
Baca juga: Tur As-Salam contohkan rencana liburan ramah wisatawan muslim
Sebagai contoh, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan serta Thailand telah bekerja keras dan berbuat banyak menjadikan destinasi wisatanya ramah muslim (muslim friendly). Tujuannya agar menarik wisatawan muslim masuk dan belanja ke destinasi wisatanya dengan nyaman dan aman.
Keseriusan Jepang dan Korsel dalam menarik minat wisatawan muslim berkunjung ke negerinya dibuktikan dengan banyaknya fasilitas dan makanan yang ramah muslim.
Banyak restoran-restoran yang bersertifikat halal, hotel-hotel yang peduli dengan kebutuhan muslim (penunjuk arah shalat/kiblat), tempat-tempat umum atau publik yang menyediakan tempat shalat (prayer room), bahkan di mall Shinjuku Tokyo Jepang juga disediakan prayer room.
MICE Director Asia Pacific Japan National Tourism Organization, Susan Maria Ong, mengatakan, Jepang sangat serius dan sangat jelas menangkap peluang pasar wisatawan muslim dunia. "Kami buktikan dengan membuka kantor di Kuala Lumpur Malaysia pada 2017," ujar Susan.
Baca juga: Pengusaha Babel gandeng Thailand buka peluang usaha bersama
Kantor itu lanjutnya untuk menangani publikasi dan menerbitkan buku panduan yang menjelaskan secara detil tentang, hotel, restoran serta lokasi-lokasi yang akan dikunjungi.
Saat ini kata dia dari total kunjungan wisatawan ke Jepang, 20 persen di antaranya merupakan muslim dengan tujuan wisata plesiran.
Taiwan sebagai negara yang penduduknya mayoritas nonmuslim sudah bergerak lebih maju lagi untuk menjadi tempat wisata yang ramah muslim. Saat ini Taiwan menempati rangking tiga dunia sebagai tempat wisata yang muslim friendly dari sebelumnya rangking kelima pada 2017.
Executive Director Taiwan Trade Development Council, Jerchin Lee mengatakan, Taiwan telah berbuat banyak untuk menjadikan negaranya sebagai tempat wisata yang ramah muslim.
"Kita punya semuanya mulai dari makanan atau restoran halal sampai tempat shalat di arena convention center," katanya.
Dia menambahkan pada 2018 Taiwan telah menerima kunjungan wisatawan muslim yang melancong maupun bisnis (MICE) 60 persen lebih besar dibandikan sebelumnya (2017).
"Penduduk muslim yang merupakan seperlima dari penduduk dunia merupakan potensi pasar wisata yang besar. Kami jelas membidik pasar mereka terutama yang berasal dari Indonesia, Malaysia dan Timur Tengah," katanya.
Baca juga: Pengamat: Lebih baik "Ramah Muslim" dibanding pariwisata halal
Baca juga: Rekomendasi wisata ramah muslim di Negeri Kangguru (1)
Ramah muslim
Lalu bagaimana kesiapan Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar dunia itu mampu memanfaatkan peluang atau ceruk pasar wisatawan muslim yang besar itu?
Tentunya Indonesia harus lebih besar daya dorongnya untuk bisa merebut ceruk pasar itu, lantaran mempunyai keungulan komparatif (comprative advantage). Secara alamiah Indonesia merupakan destinasi wisata yang ramah muslim dengan sendirinya, karena tersedianya makanan halal serta sangat banyaknya tempat-tempat ibadah wisatawan muslim, serta beragam destinasi wisata yang bagus dan unik.
Atau jangan-jangan hanya dijadikan pasar (karena penduduk muslimnya terbesar di dunia) negara-negara lain yang sudah sangat siap dan mempunyai daya saing lebih.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani saat ditemui di Bangkok, Kamis (26/9) mengatakan, wisatawan muslim dunia yang akan berkunjung ke destinasi wisata tidak melihat dari sisi apakah negara yang akan mereka kunjungi berpenduduk muslim atau tidak.
"Mereka hanya akan melihat destinasi yang mereka kunjungi itu menarik dan unik sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya (muslim friendly). Mereka akan kunjungi destinasi di negara nonmuslim sekalipun asalkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya tersebut," kata Rizki yang akrab disapa Kiki.
Indonesia, lanjutnya sangat siap menerima kedatangan wisatawan muslim dunia, lantaran sudah memiliki syarat minimum (minimum requirement) seperti tersedianya makanan halal dan fasilitas peribadatan muslim.
Namun, besar kecilnya jumlah wisatawan muslim yang berkunjung akan tergantung juga pada kejelian dan kreatifitas pelaku bisnis wisata untuk membidik pasar mereka.
Kiki menyebutkan saat ini Indoensia sedang bekerja keras untuk memperbaiki lingkungan hidup (environment) yang menjadi salah satu titik lemah, salah satunya kebakaran hutan dan lahan yang masih kerap terjadi.
Daya tarik destinasi
Pemerintah serius untuk memperbaiki dan membenahi lingkungan hidup agar aman dan nyaman bagi wisatawan.
Praktisi dan Pengamat Pariwisata, Wisnu Budi Sulaeman mengatakan wisatawan muslim mencari suasana baru, melihat aneka keindahan alam dan daya tarik budaya serta tradisi/adat istiadat, gaya hidup, kuliner dan belanja (shopping) yang berbeda dengan tempat tinggal asalnya.
"Tentunya daya tarik destinasi wisata itu harus ramah muslim," katanya.
Intinya yang dicari wisatawan perbedaan itu sendiri, bukan sehari-hari yang sudah mereka temukan dan nikmati ditempat asalnya.
Karena itu, wisatawan muslim tidak harus disuguhi tempat-tempat religius yang berlatar belakang sejarah dan budaya Islam saja, karena wisatawan muslim juga mempunyai keinginan yang sangat besar untuk melihat-lihat tempat sejarah suku bangsa lain termasuk aneka ragam daya tarik alam budaya nusantara.
"Demikian juga dengan kuliner, mereka tidak harus disajikan, nasi mandi, kambing bakar dan lainnya. Namun justru mereka ingin mencicipi makanan lokal seperti nasi padang, nasi goreng, gudeg, soto, ayam taliwang dan lainnya," katanya.
Wisnu mengatakan pengusaha perjalanan wisata seringkali tidak memahami hal-hal yang menjadi kebutuhan dan keinginan wisatawan muslim tersebut, sehingga akibatnya paket-paket wisata yang ditawarkan menjadi tidak menarik walaupun harga tournya murah.
Syarat minimum ramah muslim saja tidak akan cukup seperti makanan halal dan fasilitas tempat peribadatan, tanpa didukung oleh kreatifitas yang tinnggi para pelaku bisnis wisata. Bisa-bisa Indonesia kalah saing dari negara-negara nonmuslim yang mampu menggaet lebih besar lagi pasar wisatawan muslim.
"Kemampuan membidik pasar serta menyusun strategi yang tepat dan kreativitas yang tinggi merupakan tantangan bagi Indonesia jika ingin mendapat ceruk besar dari ratusan juta wistawan muslim," paparnya.
Pewarta: Budi Suyanto
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019