Jakarta, 9/7 (ANTARA) - Kalau saja udara Jakarta sebersih Tokyo, akan banyak orang berjalan di trotoar, masuk dari satu gedung ke gedung lainnya yang ada di sekitar kawasan Jalan MH Thamrin dan Jenderal Sudirman tanpa harus menggunakan kendaraan. Tapi, banyak orang saat ini pasti menyebut bahwa membayangkan semua itu sama saja dengan bermimpi. Bahkan kecenderungan polusi udara Jakarta semakin tinggi seiring bertambahnya jumlah kendaraan dan kemacetan akibat pembangunan jalan baru lebih lamban dibanding pertumbuhan jumlah kendaraan. Saking tingginya polusi udara di Jakarta akibat gas buang kendaraan bermotor, kepekatannya tidak mampu lagi dideteksi papan indikator "Indeks Standar Pencemaran Udara" yang terletak di pertigaan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Papan itu sudah lama tidak berfungsi atau tidak difungsikan. Majalah Nasional Geografic menyebut Indonesia sebagai salah satu negara penghasil gas karbondioksida (CO2) terbesar di dunia. Akibat tingginya polusi udara terutama di Jakarta, pertumbuhan jumlah kendaraan pun dituding sebagai biang keladi. Bahkan sempat terlontar niat Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar untuk melakukan moratorium produksi kendaraan bermotor, terutama mobil, yang mengejutkan kalangan pelaku industri otomotif. Tapi, pernyataan tersebut hanya sebatas lisan tanpa surat keputusan. Bagi kalangan industri, jika pernyataan Rachmat Witoelar itu menjadi kenyataan maka itu akan menjadi kontraproduktif terhadap pengembangan industri otomotif nasional, yang kini menjadi primadona dan andalan ekspor masa depan. Tapi, siapa yang berani menyangkal bahwa asap kendaraan bermotor menyumbang kontribusi yang besar bagi pencemaran udara yang menurunkan kualitas hidup sehat di kota besar seperti Jakarta? Putaran mesin mobil mengeluarkan berbagai gas buang yang mencemari udara seperti CO2 yang mengurangi jumlah oksigen di udara, serta gas buang lainnya yang memberi kontribusi tambahan bagi percepatan perubahan iklim, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Jika tidak ada upaya kuat dari pihak-pihak berkepentingan untuk menekan emisi gas buang kendaraan, maka berbagai upaya menahan percepatan pemanasan global dan perubahan iklim akan sia-sia, karena permintaan kendaraan bermotor akan terus meningkat seiring peningkatan ekonomi masyarakat. Permintaan mobil Presdir Toyota Motor Corporation (TMC) Katsuaki Watanabe pada Forum Lingkungan awal Juni lalu di Tokyo memperkirakan permintaan mobil di dunia akan terus meningkat terutama di negara-negara berkembang. Ia memproyeksikan kepemilikan mobil di dunia akan menembus angka di atas satu miliar unit pada 2010 dan terus meningkat mencapai 1,5 miliar pada 2020. Di Indonesia, setelah kenaikan harga bahan bakar minyak Oktober 2005 sebesar rata-rata sekitar 125 persen, permintaan mobil terus bergerak naik. Sampai akhir 2008, permintaan mobil diproyeksikan bakal menembus angka di atas 500 ribu unit. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan penjualan mobil di dalam negeri bakal menembus angka satu juta unit pada 2010. Tapi apakah hanya penjualan yang menjadi target kalangan pelaku industri otomotif baik di dunia ataupun di Indonesia? Presdir TMC Katsuaki Watanabe secara tegas menyatakan tidak ada masa depan bagi kendaraan bermotor bila kalangan industrinya tidak peduli pada masalah pemanasan global dan pengembangan energi alternatif. Berbekal kepercayaan itu, TMC terus mengembangkan "mobil hijau" yang ramah lingkungan, mulai dari kendaraan hibrid yang bermotor ganda listrik dan bensin, sampai pengembangan mobil berbahan bakar nabati 100 persen, serta mobil berbahan bakar hidrogen, dengan target emisi gas buang nol persen. Prestasi terbesar perusahaan otomotif Jepang yang diakui dunia tersebut menjadi satu-satunya perusahaan di dunia yang mampu menjual mobil hibrid melampaui 1,5 juta unit dalam satu dasawarsa sejak mobil tersebut diproduksi massal pada 1997. Wanatabe menegaskan pihaknya akan terus memperluas penggunaan teknologi hibrid pada mobil yang diproduksinya. Bahkan ia menargetkan pada 2020 semua model mobil yang diproduksi TMC akan menggunakan teknologi hibrid yang terbukti mampu menghemat penggunaan bbm dan menekan emisi gas buang CO2. "Dalam perhitungan kami, penggunaan mobil hibrid tersebut mampu menurunkan tujuh juta ton emisi gas buang CO2 dan menghemat sekitar 2,7 juta liter konsumsi bensin," katanya. Tidak hanya TMC, sejumlah produsen otomotif dunia pun mulai mengarah kepada pengembangan mobil ramah lingkungan guna menekan efek percepatan pemanasan global dan perubahan iklim yang akan menurunkan kualitas hidup manusia pada masa depan. Produsen mobil asal Amerika Serikat, General Motor Corporation (GMC) seperti yang disampaikan Kepala GMC Amerika Utara Troy Clark, misalnya, mengharapkan dukungan pemerintah AS untuk meningkatkan pendanaan bagi pengembangan baterai mobil hibrid. Hal senada juga dikemukakan Ketua Umum Gaikindo Bambang Trisulo yang berharap adanya dukungan pemerintah untuk menggairahkan pasar mobil yang ramah lingkungan tersebut. "Kalau mau mengembangkan mobil hibrid di Indonesia, pemerintah harus mendorong pertumbuhan pasarnya lebih dulu, dengan memberi insentif fiskal agar mobil itu lebih murah," ujarnya. Ia percaya bila pasarnya besar maka produsen otomotif yang memproduksi mobil ramah lingkungan itu akan masuk dan berinvestasi di Indonesia. Menurut dia, di banyak negara, volume pasar mobil ramah lingkungan membesar, karena ada ada insentif dari pemerintah mereka. Belum berpihak Sejak Indonesia Internasional MotorShow (IIMS) 2007, sejumlah produsen otomotif dunia mulai memperkenalkan mobil ramah lingkungan mereka. Sebut saja Toyota Astra Motor (TAM) yang memperkenalkan mobil ramah lingkungan seperti Prius dan mobil konsep seperti I-Unit dan Fine-T. Selain itu ada Honda yang memperkenalkan mobil hibridnya dan Mitsubishi yang memperkenalkan mobil listriknya, MIEV, tahun lalu. Namun, berbagai pertunjukan teknologi mesin mobil yang mampu menekan emisi gas buang kendaraan bermotor yang mencemari kualitas udara di Indonesia itu tidak membuat pemerintah bergeming untuk membuat strategi besar kebijakan pengembangan industri otomotif ke depan dengan visi ramah lingkungan. Menperin Fahmi Idris menyatakan, mobil hibrid bukan tren mobil yang diminta konsumen di dunia. Menurut dia, mobil hibrid atau bahkan mobil konsep yang ramah lingkungan adalah bisa-bisanya produsen otomotif menciptakan tren. "Itu bukan tren mobil dunia, itu tren pabrikan. Tren permintaan mobil saat ini adalah mobil kecil, murah, dan efisien," ujarnya. Oleh karena itu, dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN) yang disusun Departemen Perindustrian (Depperin) hanya menyatakan industri otomotif atau alat transportasi darat merupakan industri andalan masa depan pada 2025, dengan fokus pengembangan pada sedan kecil, mobil serba guna (MPV), dan kendaraan niaga. Boleh jadi, pernyataan Fahmi merupakan cermin dari sikap pemerintah yang tidak peduli pada teknologi ramah lingkungan yang dikembangkan para produsen otomotif dunia, karena melihat kenyataan pendapatan per kapita masih rendah dan mobil bukan kebutuhan utama. Namun, pada sisi lain, ada gejala bahwa banyak kalangan menengah ke atas yang merupakan konsumen mobil potensial mulai menyadari pentingnya efisiensi dalam penggunaan bahan bakar sekaligus kelestarian lingkungan. Apalagi Ketua Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Dr Rajendra Kumar Pachauri mengingatkan tentang proyeksi IPCC yang menyebutkan bahwa pada abad 21 ini akan terjadi peningkatan suhu udara di bumi sebesar 1,8 sampai empat derajat celcius akibat perubahan iklim yang cepat dan pemanasan global. Sebagai warga dunia yang sama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim yang sangat cepat itu, tidakkah Indonesia perlu terlibat dalam pengembangan mobil ramah lingkungan dalam visi pembangunan industri otomotifnya? Bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan bahwa komunitas internasional tidak boleh berjalan sendiri-sendiri dalam mengatasi krisis energi, pangan, dan perubahan iklim yang sangat cepat saat ini. Lalu, harus diletakkan di posisi sebelah mana sikap yang ditunjukkan Fahmi yang secara terang-terangan menyebut kecenderungan "mobil hijau" bukan tren dunia? Kalau pernyataan itu dijadikan kebijakan yang ketat, boleh jadi Indonesia yang kini masuk dalam jajaran negara penyumbang CO2 terbesar di dunia, bakal dikenal juga sebagai pasar otomotif yang tidak peduli pada mobil ramah lingkungan. "Pemerintah Indonesia itu sering tidak jelas kemauannya (dalam pengembangan industri otomotif), kalah dengan produsen minuman yang iklannya menyebutkan `aku tahu yang kumau`," ujar Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM) Joko Trisanyoto saat dimintai tanggapan atas sejumlah pertanyaan tersebut. Sebagai pelaku bisnis otomotif, ia mengatakan hanya akan mengikuti visi dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri tersebut. Namun, ia sepakat kepedulian terhadap lingkungan sangat penting di tengah meningkatnya permintaan otomotif di Indonesia saat ini. (*)
Oleh Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008