Jakarta (ANTARA) - Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk segera membenahi prosedur perlindungan bagi para jurnalis yang bertugas di lapangan.

Desakan IJTI ini didasari oleh kasus kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis baik di Jakarta maupun di daerah saat meliput unjuk rasa mahasiswa menolak RKUHP pada 24-25 September 2019 merupakan alarm nyata bagi keberlangsungan kebebasan pers di tanah air.

Baca juga: IJTI Sulsel kecam kekerasan oknum polisi pada tiga jurnalis

Baca juga: Jurnalis Cimahi gelar aksi mengecam kekerasan terharap pers

Baca juga: Sekretariat IJTI Gorontalo dirusak orang tak dikenal

Baca juga: Kodam Diponegoro sepakat tolak kekerasan terhadap wartawan

"Sebagian besar pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi menolak RKUHP dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Sedangkan satu kasus dilakukan oleh massa aksi," kata Yadi Hendriana, Ketua Umum IJTI, dalam keterangan tertulis, Sabtu.

Selama satu pekan ini IJTI mencatat 10 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP.

Dari jumlah tersebut 6 kasus kekerasan terjadi di Ibu Kota dan selebihnya terjadi di daerah. Dari 10 korban kekerasan, 4 diantaranya merupakan jurnalis televisi yakni, Febrian Ahmad, reporter Metrotv kendaraan liputannya dirusak oleh massa.

Rian Saputra kameraman TVRI Sulawesi Tengah, kameranya dirampas dan gambar dihapus oleh oknum polisi saat meliput aksi demonstrasi mahasiswa di Jalan Raden Saleh yang tidak jauh dari Gedung DPRD Sulawesi Tengah.

Vany Fitria dan Harfin Naqsyabandi, Reporter Narasi TV, juga mengalami kekerasan oleh oknum polisi saat meliput aksi unjuk rasa tolak RKUHP di Jakarta.

Banyak jurnalis yang mendapat kekerasan saat meliput aksi menolak RKUHP yang pelakunya didominasi oleh aparat kepolisian menunjukkan ada persoalan serius di tubuh Polri terutama terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis. Mengingat Polri dan Dewan Pers telah memiliki MoU terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis.

Oleh karena itu IJTI mempertanyakan komitmen Polri dalam menjalankan nota kesepakatan menyangkut perlindungan jurnalis yang sudah dibuat dengan Dewan Pers. Mengingat dalam praktiknya masih banyak anggota Polri di level bawah yang tidak memahami tugas-tugas jurnalis yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang.

Dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers secara tegas disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.

"Pers berfungsi sebagai kontrol sosial dan penyampai aspirasi publik. Itulah mengapa pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers dan berekspresi maka demokrasi di tanah air tidak akan berjalan dengan baik," tutur Yadi.

Padahal kebebasan pers dan demokrasi yang tengah tumbuh dan berkembang menjadi satu-satunya kebanggaan bagi bangsa ini.

Menyikapi maraknya kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Mengecam keras sejumlah oknum aparat kepolisian yang melakukan kekerasan pada jurnalis yang tengah melakukan peliputan unjuk rasa menolak RKUHP.

2. Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi.

3. Meminta Kapolri mengevaluasi pelaksanaan MoU Polri dengan Dewan Pers terkait perlindungan jurnalis.

4. IJTI mendesak adanya reformasi di Polri terutama yang menyangkut penanganan dan perlindungan jurnalis.

5. Mendorong jurnalis yang menjadi korban untuk memproses kasus kekerasan secara hukum.

6. Mengimbau seluruh jurnalis Televisi terus menjaga kode etik jurnalistik dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.

7. Meminta agar para jurnalis selalu mengutamakan aspek keselamatan saat menjalankan tugasnya.

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019