Bengkulu, (ANTARA News) - Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) memperkirakan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia sampai Maret 2008 mencapai 200 ribu, terbanyak di kota-kota besar. "Kalau data yang dilansir Departemen Kesehatan (Depkes) pengindap HIV dan yang terjangkit AIDS di Indonesia per Maret 2008 sebanyak 12 ribu, tapi estimasi kita jauh lebih besar yakni mencapai 200 ribu," kata Deputi Sekretaris KPAN Bidang Pengembangan Program Dr Kemal Siregar di Bengkulu, Rabu. Menurut dia, data yang dikeluarkan Depkes merupakan jumlah riil berdasarkan temuan dari jajarannya di daerah. Sedangkan, penderita HIV/AIDS kondisinya bagaikan "gunung es" yakni yang terlihat di permukaan atau yang telah ditemukan jauh lebih kecil dibandingkan kondisi sebenarnya. "Penderita yang telah ditemukan atau melaporkan dirinya terkena penyakit itu hanya lima persen dari jumlah sebenarnya, karena lebih banyak yang belum terindektifikasi atau sengaja menutup diri," ujarnya. Daerah-daerah yang paling banyak pengindap penyakit mematikan itu di antaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Papua. Dari beberapa daerah yang menonjol jumlah penderita HIV/AIDS-nya, yang paling menjadi sorotan yakni Provinsi Papua, karena berdasarkan penelitian sebanyak 2,4 persen dari populasi penduduk di daerah itu terjangkit HIV/AIDS. Di Provinsi Bengkulu pun, kata dia, tidak bisa dikatakan rendah. Jika hasil temuan saat ini sebanyak 96 orang, maka kondisi riilnya bisa mencapai 2.000-an orang, cukup besar dibandingkan populasi penduduknya yang hanya 1,7 juta jiwa. Penyebaran penyakit itu sebagian besar disebabkan oleh penggunaan nafza suntik dan hubungan seksual beresiko seperti dengan Penjaja Seks Komersial (PSK) dan hubungan sejenis (homo seksual). Yang memperihatinkan, kata dia, orang yang terjangkit itu juga mempunyai pasangan resmi, sehingga kemudian membawa penyakit tersebut ke rumah tangga, dan dampaknya suami/istri dan anaknya pun jadi beresiko terkena penyakit itu. KPAN terus berupaya melakukan pencegahan penyebaran penyakit tersebut terutama pada kalangan beresiko. Jika semuanya bisa terjangkau, penyebarannya optimistis bisa diminimalisasi. (*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008