Jakarta (ANTARA) - Band beraliran rock alternatif, Cokelat, belum mau mengikuti tren mendaur ulang (remake) lagu lama dengan aransemen berbeda, melainkan lebih merasa tertantang untuk menciptakan tembang baru.

Alasannya, lagu-lagu lama Cokelat masih bisa didengarkan melalui CD atau platform musik digital. Sedangkan tantangan sebagai musisi adalah terus melahirkan karya yang beradaptasi dengan zaman.

"Cokelat berusaha tidak menjadi band tembang kenangan. Kalau begitu doang, nanti yang suka cuma generasi gua dan lu doang. Bagaimana dengan pendengar yang muda nanti?," kata pemain bass Ronny Febry Nugroho kepada ANTARA pertengahan pekan ini.

"Musisi di semua bidang harus berpikir untuk berkarya lagi dan lagi," katanya, seraya menambahkan. "Tantangan lebih terasa jika berkarya untuk lagu baru."

Gitaris Edwin Marshal Syarif mengatakan Cokelat memilih untuk berkarya dengan album atau lagu baru, ketimbang membuat proyek reuni dengan personel lama.

"Kami masih mau berkarya dengan hal-hal baru," kata Edwin. "Karena banyak yang reuni hanya demi job. Karena basic itu juga kami tak mau."

Gitaris Band Cokelat Edwin Marshal Syarif bersama drummer Axel Andaviar saat sesi latihan di Jakarta Selatan. (ANTARA/Alviansyah)

Edwin mengatakan bahwa musisi sejatinya menghasilkan karya, tanpa terlalu memusingkan apakah lagu itu akan laku atau tidak di pasar.

"Karena musik juga ada ekosistemnya. Biarlah yang memikirkan itu adalah manajemen, sudah tugasnya. Maka tugas kita adalah terus berkarya, entah bagaimana nanti dikemasnya itu sudah ada tim manajemen," kata dia.

"Kalau kita mikirin, ini laku atau tidak, tren sekarang bikin ini-itu, terus kita kapan berkaryanya? Sudah capek mikirin sekeliling doang," kata dia.

Konsisten

Kendati ditinggal vokalis Kikan Namara, Sarah Hadju, dan gitaris Ernest Fardian Syarif, namun berkat karya yang konsisten, Cokelat mampu bertahan di dunia musik dengan dinamika pasar yang pasang surut.

"Tidak banyak grup yang bertahan setelah ditinggal vokalis dan personel lain. Tapi Cokelat tidak, karena itu tadi, ciptakan sesuatu," kata Edwin.

Cokelat, 23 tahun berkiprah dengan menelurkan delapan album sejak Juni 1996 hingga 2019, pada bulan lalu merilis lagu "Anak Garuda" yang konsisten mengangkat tema nasionalisme layaknya lagu "Bendera".

Bassist Band Cokelat Ronny Febry Nugroho saat sesi latihan di Jakarta Selatan. (ANTARA/Alviansyah)


Ronny mengatakan, "Bendera" merupakan pemantik semangat Cokelat untuk menyisipkan lagu bertema nasionalis dalam setiap album mereka, kemudian lahir "Garuda" pada 2017 dan "Anak Garuda" pada Agustus 2019 yang rencananya akan menjadi lagu pengiring sebuah film pada tahun depan.

Menciptakan lagu bertema cinta pada negara memberikan tantangan sendiri bagi Cokelat, salah satunya adalah merancang musik yang ceria untuk membangkitkan semangat pendengarnya.

"Nasionalismenya lagu Cokelat adalah merayakan. Otomatis dalam merayakan lagunya harus ceria, supaya mengalirkan semangat. Orang Indonesia harus disemangatin," kata Ronny.

Ia mengatakan tidak ada formula khusus dalam menciptakan lagu bertema nasionalis. Hal yang diperlukan adalah lirik yang kuat dan musik yang ceria, namun tetap mempertahankan karakter band.

"Tidak ada yang beda. Sama saja, tema nasional juga berarti cinta dalam lingkup universal," kata Ronny. "Tapi kalau yang nasionalis, liriknya sudah siap dan sisi pandangnya Cokelat secara band harus tetap dijaga".

Vokalis Band Cokelat Jackline Rossy saat sesi latihan di Jakarta Selatan. (ANTARA/Alviansyah)

Baca juga: "Hail Gundala" dari band rock Bandung Glosalia jadi lagu film Gundala

Baca juga: Delapan band rock terbaik luncurkan album kompilasi

Baca juga: /rif akan aransemen musik sesuai dengan daerah yang dikunjungi

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019