Jakarta (ANTARA) - Indonesia One Health University Network (INDOHUN), sebuah jejaring lembaga pendidikan tinggi Indonesia yang bertujuan untuk memromosikan kolaborasi multi-disiplin di sektor kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di Indonesia mengungkap faktor penyebab terjadinya penyakit.

Data INDOHUN, yang bermarkas di Universitas Indonesia (UI) menyebutkan bahwa sebanyak 60 persen penyakit menular manusia yang ada adalah zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya), lalu 75 persen penyakit menular yang muncul pada manusia (termasuk Ebola, HIV, dan influenza) berasal dari hewan.

Selanjutnya, sebanyak 80 persen agen potensial bioterorisme adalah patogen zoonosis, dan sebanyak 20 persen dari semua penyakit manusia disebabkan oleh faktor lingkungan.

Lantas, bagaimana mesti menyikapinya dengan rujukan data tersebut?

Menggandeng para pihak, seperti Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Pertanian (Kementan), INDOHUN menggagas dua panel diskusi pada Kamis (26/9) 2019 di Balai Sidang UI, Depok.

Sebanyak lebih dari 200 orang telah hadir dan berpartisipasi aktif pada kegiatan dengan menghadirkan pembicara dari berbagai kementerian itu, termasuk dari Universitas Airlangga, Universitas Udayana, Universitas Gadjah Mada dan UI sendiri.

Selama ini, INDOHUN aktif meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan masyarakat melalui jalur pendidikan tinggi setingkat universitas, khususnya dalam menghadapi ancaman nyata zoonosis dan Penyakit Infeksi Emerging (PIE) dengan pendekatan “One Health: Pencegahan, Deteksi, dan Respon”.

Kemenkes menyebutkan bahwa PIE adalah penyakit yang muncul dan menyerang suatu populasi untuk pertama kalinya atau telah ada sebelumnya, namun meningkat dengan sangat cepat, baik dalam jumlah kasus baru di dalam satu populasi, ataupun penyebarannya ke daerah geografis yang baru (re-emerging infectious disease).

Termasuk kelompok PIE adalah penyakit yang pernah terjadi di suatu daerah di masa lalu, kemudian menurun atau telah dikendalikan, namun kemudian dilaporkan lagi dalam jumlah yang meningkat. Bentuk lainnya lagi adalah penyakit lama yang muncul dalam bentuk klinis yang baru, yang bisa jadi lebih parah atau fatal.

PIE mendapat perhatian khusus dan menjadi masalah kesehatan masyarakat serius. Kekhawatiran akan PIE tidak hanya karena dapat menimbulkan kematian, tetapi juga karena dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar dalam era globalisasi, saat seluruh dunia saling terhubung.

Sebagai contoh, perkiraan biaya langsung yang ditimbulkan saat SARS menjadi pandemi di Kanada dan negara-negara Asia adalah sekitar 50 miliar dolar AS.

Dampak PIE semakin besar bila terjadi di negara berkembang yang relatif memiliki sumber daya lebih terbatas dengan ketahanan sistem kesehatan masyarakat yang tidak sekuat negara maju

Kemenko PMK, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) mendukung upaya yang telah dilakukan oleh INDOHUN, yang didanai oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dalam peningkatan kapasitas SDM lintas kesehatan (manusia, hewan, dan lingkungan) melalui jejaring universitas untuk menghadapi ancaman nyata zoonosis dan PIE selama hampir lima tahun terakhir, 2014-2019.

Hal itu sejalan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit zoonosis di tingkat nasional dan global.

Dukungan itu diwujudkan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) terbaru Nomor 4 tahun 2019 tentang “Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia” pada bulan Juni 2019.

Kemudian direspon oleh Keputusan Kementerian Pertanian No 237/KPTS/PK.400/M/3/2019 tentang Penetapan 15 Zoonosis Prioritas di Indonesia, dengan lima zoonosis prioritas teratas yaitu Avian Influenza (Flu Burung), Rabies, Antraks, Brucellosis, dan Leptospirosis.

“Kami sangat mendukung upaya peningkatan kapasitas SDM kesehatan dalam koordinasi dan sinkronisasi lintas sektor di lapangan, dalam upaya pencegahan, deteksi, dan respon terhadap ancaman nyata zoonosis dan PIE, baik yang dilakukan oleh universitas, kementerian/lembaga serta profesi lainnya,” kata Deputi Koordinasi Bidang Peningkatan Kesehatan, Kemenko PMK, Agus Suprapto.

Baca juga: Kementan gandeng FAO-USAID tingkatkan penanggulangan zoonosis

Baca juga: FAO-Antara beri pembekalan media soal zoonosis di Indonesia



Sinergi-kolaborasi

Direktur Jenderal P2P Kemenkes dr. Anung Sugihantono, M.Kes, menekankan pentingnya upaya prevent, detect dan respond yang tepat atas ancaman bahaya zoonosis, baik penyakit New Emerging, “Re-emerging dan emerging melalui peningkatan kapasitas SDM di seluruh lintas sektor terkait.

“Kemenkes dalam hal ini Ditjen P2P siap bersinergi dan berkolaborasi dengan kementerian terkait yaitu Kementan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan lembaga perguruan tinggi “ katanya.

Sementara itu, Dirjen SDID Kemenristekditi Ali Ghufron Mukti menyatakan pihaknya juga mendukung upaya peningkatan kapasitas SDM lintas profesi kesehatan untuk menumbuhkan budaya kolaborasi guna menciptakan pelayanan kesehatan masyarakat yang baik.

“Hanya melalui kolaborasi lintas sektor, strategi komunikasi yang efektif, dan penguatan keterlibatan pemangku kepentingan, maka tujuan untuk Indonesia yang berkualitas dapat tercapai,” katanya.

Dirjen PKH Kementan I Ketut Diarmita juga mendukung kerja sama lintas sektor itu.

"Kami sangat senang bekerja bersama dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya dalam rangka meningkatkan status kesehatan Indonesia, khususnya bagi kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Kuncinya terletak pada koordinasi, kerja sama, dan komunikasi yang lebih baik karena sejauh ini kami sendiri telah menerapkannya melalui pengaplikasian pendekatan One Health,” katanya.

Koordinator INDOHUN Prof drh Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa pihaknya adalah bagian dari One Health Workforce (OHW) dalam proyek Emerging Pandemic Threat fase 2 (EPT-2) yang didanai oleh USAID sejak tahun 2015-2019.

INDOHUN telah mengembangkan kurikulum, modul pelatihan, pengalaman lapangan, dan alat pengajaran serta peluang pembelajaran lainnya untuk memastikan lulusan perguruan tinggi di masa depan, maupun tenaga kesehatan siap untuk menghadapi tantangan yang kompleks melalui upaya deteksi, respon, pencegahan, serta pengendalian penyakit menggunakan pendekatan multi-sektor di Indonesia.

Fokus yang dijalankan adalah pada kegiatan pelatihan pelaku kesehatan dalam peningkatan kapasitas untuk berkolaborasi, berkoordinasi, dan berkomunikasi secara lintas profesi dalam menghadapi masalah kesehatan.

Pelatihan dibangun dan dikembangkan bagi seluruh praktisi kesehatan dari disiplin ilmu manapun agar tercipta suasana kolaborasi yang kuat.

Meningkatnya interaksi antara populasi manusia dan hewan, sebagai akibat dari globalisasi, pertumbuhan populasi, urbanisasi massal, ekspansi ternak, dan perubahan iklim dapat mempercepat timbulnya penyakit yang bersifat zoonosis dan dapat menyebabkan kerugian di bidang kesehatan masyarakat, ekonomi, dan pembangunan.

Oleh sebab itu, diperlukan kapasitas yang komprehensif untuk mendeteksi dan merespon penyakit, khususnya di daerah hotspot seperti Indonesia.

Baca juga: Amankan potensi kehati, LIPI siapkan peta zoonosis di Indonesia

Baca juga: Kenali beda cacar monyet dibanding cacar air



Pengendalian dan pencegahan

Pelaksana Tugas Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia Pamela Foster mengatakan bahwa 2019 adalah tahun peringatan 70 tahun hubungan diplomatik AS- Indonesia.

Melalui USAID, katanya, AS bangga dapat bermitra dengan Pemerintah Indonesia dan universitas-universitas di Indonesia untuk membangun jajaran tenaga kesehatan lintas sektor yang akan mengendalikan dan mencegah penyakit menular sebagai bagian dari komitmen kedua negara terhadap Agenda Keamanan Kesehatan Global.

“Pemerintah AS juga gembira telah dapat mendukung investasi yang meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan Indonesia untuk memastikan keamanan kesehatan generasi masa depan di Indonesia dan kawasan ini.” katanya.

Proyek OHW di INDOHUN telah dilakukan sejak 2014 hingga 2019. Dalam lima tahun terakhir, INDOHUN telah melakukan 26 pelatihan, lokakarya, dan kuliah umum.

Sebanyak 7.679 peserta yang terdiri atas mahasiswa, pejabat pemerintah/profesional, dan dosen/akademisi/staf pengajar serta lebih dari 3.200 peserta publik telah berpartisipasi dalam pelatihan dan kegiatan INDOHUN.

Melalui One Health Collaborating Centers (OHCC), sebanyak 24,197 orang telah mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

INDOHUN juga mengembangkan 37 modul pelatihan dan workshop serta membangun sebuah platform pembelajaran daring (online) yang disebut i-Learn. Terdapat 35 kursus online (154 materi pembelajaran, 18 bahan bacaan, 97 video pembelajaran, 75 kuis set) dan 13 proposal yang dikembangkan untuk proyek komunitas.*

Baca juga: JAAN: waspadai penyakit menular dari topeng monyet

Baca juga: Badan Karantina Pertanian cegah penyakit brucellosis pada sapi

Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019