"Pada 2014 penjualan CNG mencapai 144.320 Kiloliter Setara Premium untuk kendaraan BBG, namun pemerintah kembali mengakomodasi penggunaan bahan bakar solar," kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan dengan kembalinya pemerintah mengakomodasi kendaraan menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar, maka program langit biru sulit terealisasi.
"Solar itu BBM kotor yang memiliki kadar belerang di atas 2000 ppm," katanya.
Secara umum penggunaan BBM jenis solar oleh transportasi massal tidak hanya memperburuk lingkungan terutama polusi udara. Namun, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) juga mengalami kerugian karena kehilangan konsumen yaitu bajaj, mikrolet maupun taksi.
Baca juga: Kendaraan BBG 90 persen lebih ramah lingkungan dibanding BBM
Dari total 45 SPBG pada 2016, saat kini hanya tersisa 23 unit yang beroperasi meskipun pada awal 2019 masih tercatat 32.
Sementara itu, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan pemerintah harus konsisten dengan regulasi yang telah dibuat untuk melindungi hak konsumen.
Ia mengatakan dorongan kendaraan umum untuk beralih ke BBG merupakan kemauan pemerintah sehingga konsistensi regulasi harus tetap dijalankan.
Sebagai contoh, kata dia, apabila pemerintah telah membuat regulasi bajaj menggunakan BBG maka seharusnya sudah ada hitungan besaran kebutuhan gas agar tidak ada polemik di kemudian hari.
"Lagi-lagi konsistensi dan keseriusan pemerintah, jadi kalau Pemda DKI mengharuskan bajaj menggunakan BBG maka harus disediakan," katanya.
Pada awalnya, kebijakan pemerintah mengalihkan BBM ke BBG dinilai bagus untuk mencapai program langit biru. Hanya saja dalam penerapan aturan tersebut masih terdapat diskriminasi perlakuan transportasi.
Baca juga: KPBB: Kendaraan operasional Pemprov DKI harus beralih ke BBG
Baca juga: Asosiasi nilai kendaraan BBG dapat kurangi gas rumah kaca
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019