Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dianggap belum mampu mengelola anggaran pendidikan jika pemerintah akhirnya mengalokasikan seluruh 20 persen dari total belanja APBN ke instansi tersebut mengingat tiadanya rencana yang jelas untuk penyerapan anggaran tersebut. Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan Olly Dondokambey di Jakarta, Selasa mengatakan, mengelola dana 20 persen dari APBN tidak hanya membutuhkan sistem yang kuat dan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, namun juga program kerja yang mampu mengarahkan penggunaan dana tersebut pada alokasi yang tepat sesuai dengan prioritas pemerintah. "Jika belanja dalam APBN kita tahun depan lebih dari Rp1.000 triliun, maka 20 persennya berarti Rp200 triliun. Bukan main-main mengelola dana Rp200 triliun itu. Kami menilai belum ada departemen yang benar-benar siap mengelola dana sebanyak itu," kata dia. Menurut Olly, kalangan pendidikan harus mencermati klausul dalam amandemen UUD 1945 yang mengatakan bahwa dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN merupakan anggaran total pendidikan, bukan anggaran sebuah departemen. Dia mengingatkan, adanya fasilitas pendidikan yang diberikan kementerian/lembaga kepada aparat atau karyawannya dalam rangka peningkatan kualitas SDM, seperti Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian, Polri, TNI, Departemen Dalam Negeri, dan yang lain. "Semua bentuk pendidikan tersebut seharusnya sudah termasuk dalam 20 persen anggaran pendidikan," katanya. "Kalau memang semua kegiatan pendidikan KL (kementerian/lembaga) tadi harus dikelola Depdiknas, ya silahkan saja berikan anggaran minimal 20 persen dari APBN dan semua lembaga pendidikan di KL harus dilebur menjadi satu di bawah Depdiknas," ujarnya. Menurutnya, alokasi anggaran Depdiknas harus ditentukan berdasarkan program yang akan dicapai dan kinerja yang ditunjukkan, bukan berasal dari persentase besaran APBN. Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani mengatakan, akibat perubahan asumsi harga minyak maka subsidi energi akan melonjak menjadi sekitar Rp350 triliun, yang meliputi subsidi BBM Rp250 triliun dan subsidi listrik Rp90-100 triliun. Sebagai konsekuensinya, kata dia, anggaran pendidikan tidak mungkin mencapai 20 persen dari total belanja APBN karena sebagian besar penerimaan negara akan tersedot untuk subsidi. Selain itu, kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen akan menimbulkan risiko keuangan yang besar karena tidak ada program yang jelas. "Misalnya, anggaran pendidikan semula Rp40 triliun, lalu tiba-tiba menjadi Rp90 triliun. Saya tidak habis pikir bagaimana cara menghabiskan dana tersebut," ungkapnya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008