Keterbukaan ini akan menepis tudingan banyak kelompok antisawit bahwa sawit Indonesia buruk. Padahal, faktanya, jauh lebih banyak sawit Indonesia yang baik karena telah bersertifikasi ISPO

Jakarta (ANTARA) - Lembaga penelitian kehutanan internasional atau Center for International Forestry Research (CIFOR) menyatakan, sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) menjadi jaminan bahwa produk yang menggunakan sawit Indonesia berasal dari sumber-sumber yang baik dan berkelanjutan.

Namun demikian, menurut peneliti CIFOR Herry Purnomo di Jakarta, Kamis, untuk meningkatkan kepercayaan itu, ISPO harus terbuka bagi pemantauan independen oleh masyarakat sipil serta pihak lain.

ISPO merupakan suatu sistem verifikasi untuk memastikan bahwa semua yang berasal dari perkebunan sawit, baik yang diperdagangkan dan diekspor, patuh pada hukum yang berlaku dan memenuhi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi sebagaimana telah diidentifikasi para pihak dari pemerintah, sektor swasta serta masyarakat sipil.

Oleh karena itu keterbukaan bagi pemantauan independen akan menjadi bukti bahwa sebagian besar produk turunan sawit Indonesia berasal dari perkebunan yang berkelanjutan.

“Keterbukaan ini akan menepis tudingan banyak kelompok antisawit bahwa sawit Indonesia buruk. Padahal, faktanya, jauh lebih banyak sawit Indonesia yang baik karena telah bersertifikasi ISPO,” katanya di sela-sela Diskusi: Policy Dialog” Toward Sustainable Palm Oil in Indonesia”.

Baca juga: RI tekankan sawit berkelanjutan di pertemuan negara penghasil CPO

Menurut dia, selain pemantauan independen, para pemangku kepentingan perlu membangun dialog dengan melibatkan semua pihak.

Tujuannya agar komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan sawit untuk memperbaiki setiap kekurangan yang ada di industri ini termasuk perbaikan lingkungan bisa diawasi bersama.

Dialog bersama itu juga harus positif, konstruktif dan transparan serta memahami latar belakang budaya Eropa. Pasalnya, bagi masyarakat Eropa lingkungan bukan hanya sekedar regulasi, tetapi telah menjadi seperti “keimanan” yang harus ditaati.

“Keterbukaan dan dialog seperti ini bisa melahirkan pemahaman baru bahwa sawit dan konservasi bisa sejalan dan keduanya sama penting, tanpa meniadakan kepentingan satu dan hanya menonjolkan yang lain,” katanya.

Baca juga: Indonesia "buka-bukaan" soal sawit dan gambut di Norwegia

Menurut Herry, masyarakat Eropa sangat menghargai dialog yang transparan, menghargai komitmen dan proses perbaikan yang ingin dilakukan Indonesia.

Dalam setiap forum lobi, lanjutnya, pemerintah Indonesia juga harus terbuka dalam menjelaskan berbagai perbaikan yang telah dilakukan terkait perbaikan kawasan hutan termasuk persoalan tumpang tindih lahan agar tidak menjadi polemik berkepanjangan.

"Peran Kementerian ATR/BPN sangat vital dalam menjelaskan batas-batas kawasan dalam regulasi yang diterapkan di Indonesia,” kata Herry.

Herry menyayangkan, selama ini banyak forum dialog yang terbangun hanya berdasarkan kepentingan satu pihak, akibatnya timbul pemahaman keliru bahwa sawit akan menghabisi hutan dan di sisi lain konservasi tidak memerlukan sawit.

“Padahal keduanya saling membutuhkan. Sawit perlu air dari hutan dan konservasi serta masyarakat yang bermukim di kawasan hutan juga memerlukan dana yang berasal dari pembangunan ekonomi dari sawit,” katanya.

Baca juga: Uni Eropa apresiasi standar sawit berkelanjutan Indonesia

Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup Delegasi Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Michael Buck mengatakan, UE sangat terbuka dengan berbagai proses perbaikan yang terus menerus dilakukan di Indonesia terutama dalam pemanfaatan lahan.

“Dalam berbagai forum, sebenarnya kami hanya ingin mengingatkan Pemerintah Indonesia, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran publik akan masalah-masalah terkait perubahan iklim,” kata dia.

Baca juga: Komite targetkan 5 juta hektare lahan sawit bersertifikat ISPO

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019