"Hari ini resmi kami melaporkan ke Polda Sulsel, terkait kasus kekerasan jurnalis. Intinya tahapan laporan kita lakukan, baik pidana dan etik di Propam untuk perkembangannya masih dalam proses," kata Direktur LBH Pers Makassar, Fajriani Langgeng SH disela pendampingan ketiga jurnalis yang melapor di Polda Sulsel, Kamis.
Baca juga: LBH Pers mendampingi tiga jurnalis melapor ke Polda Sulsel
Pada kesempatan itu, Fajriani yang bersama Kadir Wokanubun Tim Kuasa Hukum mengatakan masih laporan aduan, secara umum dua dibagi, pertama tindak pidana umum pasal yang disangkakan, yakni pasal 170 dan pasal 351.
"Yang kedua kita ke Propam karena yang terlibat ini adalah aparat, olehnya itu Propam harus memeriksa anggotanya yang melakukan tindakan pemukulan dan pengeroyokan," tegas Kadir.
Kadir mengatakan, ketiga korban mengalami luka-luka lebam dan bagi tim advokasi hukum, hal itu merupakan tindak pidana.
"Padahal teman-teman dalam menjalankan tugas liputan selaku jurnalis dengan atribut lengkap," jelasnya.
Baca juga: Dewan Pers didesak aktifkan pedoman penanganan kekerasan jurnalis
Lebih lanjut, Kadir menjelaskan, yang pertama tadi itu di Tipidum (Tindak pidana umum) Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) sudah diterima.
"Kami menagih komitmen kepolisian perihal perlindungan jurnalis ketika meliput di lapangan, karena inikan bukan insiden pertama. Nah itu jadi bukti polisi tidak pernah memberikan rasa aman bagi jurnalis ketika melaksanakan kerja-kerja Jurnalistik," paparnya.
Baca juga: AJI catat 10 jurnalis korban kekerasan aparat saat liput demo
Barang buktinya baju-baju korban yang berlumuran darah milik Saiful dan Darwin, juga disiapkan video dan foto saat kekerasan itu terjadi.
Pihaknya juga akan memilih video dan foto, sebagai barang bukti yang akan dilampirkan, dimana dalam video dan foto, pelaku memang menggunakan atribut polisi.
Padahal, saat menjalankan tugas, ketiga jurnalis memperlihatkan atribut jurnalis dan juga mengaku sebagai jurnalis, tapi tetap mendapat pukulan dari aparat.
"Kami minta Kapolda Sulsel untuk mengambil tindakan tegas dari segi etik kepolisian juga tindak pidananya," tandas Kadir.
Sementara, Darwin wartawan LKBN ANTARA yang menjadi korban mengatakan tahap pertama ini adalah laporan pidana.
"Rencana akan dilanjutkan ke tingkat Propam terkait dengan etik kepolisian yang melakukan penganiayaan dan pengeroyokan terhadap teman-teman jurnalis," ujar Darwin mewakili dua korban lainnya, yakni Saiful jurnalis inikata.com (Sultra) dan Isak Pasabuan jurnalis Makassar Today.
Tiga jurnalis yang mendapat kekerasan dari aparat kepolisian saat melakukan tugas liputan aksi penolakan pengesahan revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU pertanahan di depan Gedung DPRD Sulsel Jalan Urip Sumoharjo Makassar, Selasa (24/9/2019), yakni Darwin, Saiful dan Isak.
Kondisi Darwin sendiri masih diperban kepala bagian belakang, Saiful masih mengalami pembengkakan pada pipi kiri dan bagian mata bawah masih diperban, sementara Isak mengalami lebam di beberapa bagian tubuhnya.
Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir yang turut mendampingi pelaporan tersebut menilai, kekerasan pemukulan dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap wartawan melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.
UU Pers juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan.
Pasal 18 UU Pers menyebutkan, ”Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
AJI Makassar juga mendesak Kepolisian memproses tindakan kekerasan tersebut. Sikap tegas dari penegak hukum diharapkan agar peristiwa serupa tidak terulang.
“Tiga korban dipukul aparat kepolisian Saat melakukan tugasmu. Kita tunggu sikap tegas pihak kepolisian, proses hukum harus berjalan dan tidak boleh pandang bulu,” tandas Nurdin.
IJTI Kalsel Desak Pelaku Kekerasan Terhadap Wartawan Ditindak Tegas
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019