Jakarta, (ANTARA News) - Udara Kutai Timur pagi itu, cukup cerah meski kadang-kadang awan tebal datang melintas. Diatas ketinggian 1.400 kaki misi pengintaian dan pemotretan dengan menggunakan Casa N212 TNI Angkatan Udara terus berjalan. "Waktu itu, misi yang dilakukan dalam rangka Latihan Gabungan (Latgab) TNI 2008 di Kalimantan Timur," kenang Kolonel Pnb Dipo Handoyo. Dan selama misi pengintaian dan pemotretan Dipo sempat membanggakan kehebatan pesawat intai buatan PT Dirgantara Indonesia yang membawanya, pagi itu. Casa N212 dikenal cukup bandel. Pesawat ini mampu landing dan take off di segala medan. "Jangankan tanah berkerikil, di pasir pesisir pantai pun pesawat itu mampu mendarat dengan mulus. Bahkan di landasan 600 meter saja pesawat ini bisa mendarat," kata Dipo, mantan Komandan Skadron 4 Intai Taktis Casa 212. Selama bergabung dengan TNI AU, pesawat ini memiliki kontribusi cukup besar di satuan TNI AU, seperti mengangkut NaCl dalam misi hujan buatan. Selain itu, pesawat pernah disulap menjadi rumah sakit dalam operasi di Irian, Timor- Timur dan bencana tsunami di Aceh. Kendati hanya memiliki beberapa kursi, pesawat ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ambulans udara karena di dalam kabin bisa dibentangkan delapan tandu. Dalam Latgab TNI kemarin, pesawat Intai Taktis Cassa 212 yang dilibatkan berjumlah tiga unit, untuk membantu pendaratan pasukan amfibi dan operasi teritorial lainnya yang diskenariokan dalam Latgab itu. Usai mengikuti Latgab TNI 2008 yang berakhir 19 Juni, pesawat kembali ke "home base"-nya di Skadron Udara 4 Intai Taktis Pangkalan Udara Abdurrahman Saleh, Malang, sebelum melaksanakan misi lainnya. Beberapa hari kemudian pesawat kembali terbang ke Halim Perdanakusuma untuk melakukan ujicoba kamera udara digital baru (Digital Mapping Camera/DMC) ZI/Intergraph buatan Jerman di atas wilayah Bogor. Namun, misi pada Kamis 26 Juni itu tidak selesai. Pesawat yang kala itu membawa lima awak dan 13 penumpang jatuh di kaki Gunung Salak, dan menewaskan seluruh awak serta penumpangnya. Kelebihan Beban Seperti kecelakaan pesawat lainnya, selalu disertai dengan berbagai asumsi, dugaan tentang penyebab jatuhnya pesawat. Mulai dari faktor cuaca hingga faktor manusia. Dalam peristiwa jatuhnya Casa N212-200 TNI AU di Gunung Salak itu, salah satu dugaan yang menarik adalah pesawat kelebihan beban. Dugaan dilontarkan pengamat penerbangan Dudi Sudibyo. "Sulit ya kalau ditanya apa penyebabnya. Cuaca bagus sehingga bukan faktor dominan. Bisa jadi masalah teknis," ujarnya. Redaktur Senior Majalah Angkasa itu juga menyebut kemungkinan adanya faktor overload. "Pesawat seri 212-100 itu kan dibuat untuk 12 penumpang. Nah ini diisi 18 orang ditambah alat untuk pemetaan digital. Jadi mungkin kelebihan muatan." "Menurut analisa saya, ini kemungkinan lho, bila salah satu mesinnya mati, titik imbangnya akan berubah karena muatan berlebih. Pasti ada yang berdiri," paparnya. Dugaan yang sama juga diungkapkan pengamat militer MT Arifin yang mengatakan, faktor lain yang menyebabkan pesawat jatuh karena kelebihan penumpang dan modifikasi yang telah dilakukan pada pesawat. "Selain itu, pesawat jenis cassa tidak cocok bila digunakan pada wilayah dan ketinggian dimana cuaca sering berubah-ubah, seperti kondisi di gunung Salak," ia menambahkan. Kalaupun sudah dimodifikasi, lanjut MT Arifin, maka segala faktor yang menyangkut keamanan dan spesifikasi pesawat harus tetap dipertimbangkan secara matang. Dugaan itu mungkin ada benarnya. Sebab, Casa N212-200 memang dirancang dengan kapasitas 12 orang. Sedangkan jumlah awak dan penumpang dalam pesawat Casa bernomor registrasi A2106 itu berjumlah 18 orang belum belum lagi berat kamera udara digital baru yang diujicobakan, sebesar 202,5 kilogram. Performa Casa N212-200 Setelah CASA-Spanyol setuju membantu Indonesia, dimulailah tahap pertama proses transformasi teknologi yang ditandai dengan perakitan teknologi yang sudah ada, yaitu C-212 seri 100 pada 1976. Setelah membuat sebanyak 28 pesawat, produksi pun dialihkan ke Seri 200, yang badannya lebih panjang, pada 1979. Sejak itulah mengalir pesawat NC-212 Seri 200 tidak saja ke TNI AU, tetapi juga ke maskapai penerbangan yang menggeluti jalur-jalur perintis, seperti Merpati yang melayani jalur Manado ke Tahuna atau Gorontalo di Sulawesi Utara, demikian pula dari Denpasar ke Lombok dan kota-kota lain di wilayah Indonesia timur dan juga barat. Kalau C-212 ingin dijadikan sebagai jembatan udara Nusantara, pesawat yang berdaya jelajah 1.400 kilometer ini tergolong memadai. Pesawat bermesin dua TPE 331-10-501C, memiliki kecepatan jelajah 314 kilometer per jam itu mampu dioperasikan pada ketinggian maksimum (Maximum Operating Altitude) 6,097 meter atau 20,000 kaki dengan bahan bakar sebanyak 390 liter. Kepala Dinas keselamatan Kerja dan Penerbangan (Kadislambangja) Mabes TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama I Wayan Suwitra mengemukakan, masing-masing jenis pesawat memiliki berat maksimum baik saat tinggal landas, mendarat, maupun saat tidak dioperasikan. "Semua aspek yang menyangkut pesawat saat tinggal landas, mendarat dan lain-lain sudah diperhitungkan secara cermat. Jadi, tidak mungkin pesawat kelebihan beban," katanya. Jika pesawat kelebihan beban, maka pesawat tidak akan dapat tinggal landas. "Kalau pun, bisa tinggal landas hanya beberapa menit pesawat akan jatuh," ujarnya. Sedangkan pada Casa N212-200 jatuh di Gunung Salak, Bogor setelah sempat berada di udara sekitar dua jam. Casa N212-200 memiliki berat maksimum saat tinggal landas 7.450 kilogram, sama dengan berat maksimum saat mendarat dan "Max Zero Fuel Weight" 7.100 Kilogram, "Operating Empty Weight" 4.671 Kg, "Max Payload" 2.379 Kg dan "Max Fuel" 2.000 Kg. "Tidak itu saja, jarak juga menjadi pertimbangan lain yang utama sebelum pesawat diterbangkan. Jika jarak yang ditempuh cukup jauh, maka kapasitas bahan baker akan ditambah dan penumpang dikurangi hingga memenuhi berat maksimum saat tinggal landas (Max Take-Off Weight)," tutur Suwitra. Misteri jatuhnya Casa N212-200 hingga kini masih dicoba untuk dikuak oleh tim investigasi Mabes TNI AU. Namun, yang lebih penting dari sekadar hasil investigasi adalah bagaimana Mabes TNI AU bisa lebih transparan dalam membeberkan hasil investigasinya. Bukan kepada masyarakat, mengingat yang jatuh adalah pesawat intai militer. Tetapi keterbukaan terhadap pihak-pihak terkait di jajaran TNI AU agar kecelakaan serupa tidak terjadi lagi.(*)
Pewarta: Oleh Rini Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008