Brisbane, (ANTARA News) - Penayangan film dokumenter "Schapelle Corby: The Hidden Truth" di Stasiun TV "Channel Nine" Australia pada 22 dan 24 Juni 2008 yang ditonton sedikitnya 1,6 juta orang, menimbulkan efek "bola salju" yang menimpa keluarga Corby, narapidana kasus mariyuana yang ditahan di Bali. Setelah jutaan pasang mata di Australia disuguhkan sejumlah fakta di seputar Corby, tim pengacara, dan sosok keluarga perempuan asal Gold Coast, Queensland, itu, film tersebut juga memunculkan kecurigaan keterlibatan "orang lain" dalam aksi Corby menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana ke Bali empat tahun lalu. Kemungkinan keterlibatan "orang lain" inilah yang kemudian digali Stasiun Televisi ABC dalam acara "Lateline"-nya Kamis malam (4/7). Siapa gerangan orang selain Schapelle Corby yang kemungkinan terlibat dalam penyelundupan narkoba tahun 2004 itu? Ternyata orang yang dimaksud tiada lain adalah "Michael Corby senior", ayah Corby sendiri yang meninggal di Rumah Sakit Brisbane karena penyakit kanker Januari 2008. Dalam program "Lateline" ABC yang menyajikan laporan eksklusif reporter John Stewart dengan riset tambahan dari Renata Gomback itu, terungkap bahwa nama ayah Corby justru sudah disebut informan polisi Australia tiga minggu sebelum Corby ditangkap. Sepupu ayah Corby, Alan Trembath, yang menjadi salah satu narasumber dalam program "Lateline ABC" itu bahkan mengungkapkan Michael Corby senior pernah sekali menawarkannya 80 ribu dolar Australia kepada dirinya untuk menyelundupkan mariyuana ke Bali dengan kapal pesiar. Keterlibatan Michael Corby senior dalam urusan perdagangan dan penyelundupan barang haram itu, menurut Trembath, sudah terjadi sejak 1980-an. Dia pun punya keyakinan kuat tentang keterlibatan Schapelle Corby dalam kasus penyelundupan mariyuana ke Bali tahun 2004 karena sepanjang kehidupannya, dia sudah akrab dengan barang haram itu. Bagi John Stewart, "sekarang jelas, sudah ada setidaknya dua generasi keluarga Corby yang terlibat dalam perdagangan narkoba. Sang ayah, Michael Corby senior, bersama anak perempuannya, Schapelle Corby, mewakili tiga puluh tahun berbisnis mariyuana." Stewart tidak sendiri dalam memercayai Corby bersalah. Mayoritas warga Australia di negara bagian New South Wales (NSW) pun kini percaya bahwa penghuni Penjara Krobokan Bali itu adalah pelaku aksi penyelundupan 4,2 kilogram mariyuana tahun 2004. Keyakinan mayoritas warga NSW itu sesuai dengan hasil survei eksklusif "Taverner Research" untuk Suratkabar "The Sun-Herald" Sydney untuk mengukur opini publik pasca-penayangan film dokumenter "Schapelle Corby: Kebenaran yang Tersembunyi" itu. Seperti diungkap Suratkabar "The Sydney Morning Herald" 29 Juni lalu, hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 53 persen responden percaya bahwa Corby bersalah, 15 persen tetap melihat wanita berusia 30-an tahun ini "tidak bersalah", sedangkan sisanya tidak yakin dengan pilihannya. Namun hasil survei itu juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menginginkan Corby yang pada 2 Juli lalu dibolehkan ke salon -- suatu perlakuan yang tampaknya tak mungkin pernah diperoleh narapidana Indonesia di penjara-penjara manapun di Australia -- untuk melanjutkan masa hukumannya di Australia. Terkait dengan tayangan film dokumenter Corby di Stasiun TV "Channel Nine" pada 22 dan 24 Juni 2008 malam itu, para pemirsa disodori rangkaian fakta yang semakin menguak sosok Corby dan keluarganya. Selain menguak perihal kehancuran hubungan mantan pengacara dengan keluarga Corby, film itu juga membeberkan fakta bahwa sejak hari penangkapannya pada 8 Oktober 2004, Corby sebenarnya sudah secara tidak langsung mengetahui bahwa di dalam tas papan selancar itu ada bungkusan berisi 4,2 kilogram mariyuana. Pengakuan tak langsung Corby itu disampaikan Ngurah Winata, aparat bea cukai Bandar Udara Ngurah Rai Denpasar yang bertugas menangani tas papan selancar wanita asal Gold Coast, Queensland, itu, dalam wawancara di film dokumenter tersebut. Bahkan Corby, katanya, mengetahui bahwa di dalamnya ada mariyuana dari baunya. Hubungan antara tim pengacara dan keluarga Corby juga "hancur berantakan" setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menvonis Corby bersalah dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada 27 Mei 2005. Akhirnya keadilan Dalam konteks hubungan Indonesia dan Australia, kasus wanita yang sudah menjalani tiga tahun dari 20 tahun masa hukumannya itu sempat memunculkan sentimen negatif publik Australia terhadap Indonesia. Pada saat kasusnya ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia pada 2004-2005, pemberitaan media cetak dan elektronika Australia yang sedemikian rupa telah membentuk opini publik bahwa Corby "tidak bersalah". Saat opini publik Australia masih berpihak kepada Corby, KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya sempat menjadi sasaran kekesalan orang-orang yang tidak bertanggung jawab di negara itu. Beberapa bentuk kekesalan mereka yang bersimpati kepada "nasib" Corby ketika itu adalah ancaman pembunuhan terhadap staf Konsulat RI di Perth, pengiriman surat bernada ancaman dan paket berisi "serbuk putih" yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra, serta vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney. Dinamika hubungan Indonesia-Australia yang diwarnai oleh kasus Corby yang memicu sentimen publik itu kini digantikan oleh keadilan dan kebenaran yang diungkapkan sendiri oleh media Australia. Pengungkapan "kebenaran" di balik kasus Corby oleh Stasiun TV "Saluran Sembilan" (Channel Nine) Australia yang kemudian diikuti pula oleh Stasiun TV ABC ini, menurut mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, patut disyukuri. Indonesia, katanya, patut bersyukur karena "keadilan" dalam kasus Corby yang sempat memicu sentimen negatif sebagian publik Australia justru dibeberkan oleh stasiun televisi negara itu sendiri. "Kita patut bersyukur bahwa keadilan dicapai di Australia," katanya dalam wawancara telepon dengan ANTARA, penulis saat dia masih berada di Darwin, Australia, 24 Juni. Wimar mengatakan, keadilan bagi Indonesia dalam kasus Corby yang diungkap oleh media Australia sendiri merupakan sebuah perkembangan yang bagus. Dalam upaya membangun hubungan bilateral yang lebih dewasa, pemerintah dan rakyat kedua negara sudah sepatutnya menjadikan kebenaran sebagai "acuan utama". "Kalau kita salah ya salah, kalau kita benar ya benar," katanya. Menurut dia, yang dilakukan Stasiun Televisi "Channel Nine" Australia patut juga dilakukan oleh media di Indonesia seandainya warga negara Indonesia terbukti bersalah, katanya. Persoalan emosi publik di kedua negara terkait dengan isu-isu sensitif, seperti kasus Corby tahun 2004-2005, perlu disikapi dengan pemberian pendidikan publik di kedua negara. Bagi Indonesia, sudah tidak zamannya lagi warga berlindung di balik alasan "merah putih" untuk membela kesalahan, kata Wimar Witoelar.(*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008