Medan (ANTARA News) - Penegakan hukum di Indonesia diragukan dapat menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih karena belum memberikan "shock therapy" bagi pelaku kejahatan, khususnya pelaku tindak pidana korupsi. "Pelaku korupsi hanya `tiarap` jika sedang dilakukan pemeriksaan atau ketika perbuatannya sedang hangat diberitakan. Setelah kondisi `mendingin`, aksi pencurian uang rakyat akan dilanjutkan lagi," kata Presiden Perjuangan Hukum dan Politik (PHP), HMK Aldian Pinem, SH, MH di Medan, Sabtu. Menurut dia, kondisi tersebut disebabkan karena masih belum adanya kesiapan elit politik dan pimpinan institusi hukum untuk menerapkan pola pemerintahan yang bersih. Oknum elit politik dan pimpinan institusi hukum yang masih bermental korup berupaya agar sanksi dan hukuman tindak pidana tidak terlalu berat. Indikasi tersebut dapat dilihat dari belum direvisinya UU 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar memuat hukuman maksimal seperti hukuman mati. Hal itu menyebabkan UU di Indonesia tidak mampu membuat gentar oknum penyelenggara pemerintahan yang korup. Pinem mencontohkan penggrebekan yang dilakukan KPK terhadap Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan penangkapan beberapa anggota DPR yang diduga menerima suap beberapa waktu lalu. Diperkirakan, seluruh petugas Bea dan Cukai pelabuhan di Indonesia dan banyak oknum anggota DPR yang korup "tiarap" untuk sementara waktu guna menghindari menjadi target KPK. Namun jika berita dugaan suap itu sudah mulai dilupakan maka praktik merugikan negara itu mungkin akan dilanjutkan kembali. "Itu semua disebabkan sistem dan sanksi hukum di Indonesia belum menakutkan," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008