Jakarta (ANTARA News) - Sebenarnya untuk menertibkan keterlibatan Anggota DPR dalam urusan proyek pemerintah, Badan Kehormatan (BK) DPR bisa melakukan penertiban. "BK DPR memang bertugas menegakkan etika, tetapi tidak mungkin makan `temen` sendiri," kata Ketua Fraksi PKS DPR RI Mahfudz Siddik dalam dialektika demokrasi di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat.Penangkapan terhadap beberapa Anggota DPR RI dalam kasus suap dan gratifikasi dinilai merupakan puncak gunung es dari kasus yang lainnya di lembaga parlemen."Itu merupakan puncak gunung es. Di balik itu, ada bongkahan besar kasus yang kalau dibongkar membutuhkan energi sangat besar," katanya.Namun Mahfudz menegaskan, kasus yang menimpa sejumlah Anggota DPR RI tak lepas dari problem utama korupsi yang saling terkait dengan pihak lain. "Problem utamanya menyangkut hulu dan hilir," katanya.Adanya kasus korupsi dan gratifikasi serta penyalahgunaan wewenang oleh oknum anggota DPR RI tidak lepas pula dari pola rekrutmen calon anggotanya. Di samping adanya keharusan bagi Anggota DPR mengeluarkan dana untuk membiayai berbagai keperluan. Politisi Indonesia dihadapkan pada proses politik yang "high cost". "Seorang calon Anggota DPR RI pada tahun 2004 yang disiarkan televisi, `blak-blakan` harus mengeluarkan dana Rp2 miliar hingga Rp4 miliar. Sekarang sudah mengumpulkan Rp4 miliar untuk mencalonkan lagi," katanya. Dia mengungkapkan, dana Rp2 miliar untuk kampanye itu belum termasuk pos lain yang membutuhkan dana. "Seperti jalan Pantura yang setiap posnya ada kutipan-kutipan," katanya. Status sebagai Anggota DPR yang "high cost" berlangsung selama masa jabatannya. Di mata publik, seorang Anggota DPR bukan saja wakil rakyat, tetapi juga wakil segalanya, termasuk mewakili perutnya. Karena itu, anggota DPR harus memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk kegiatan politik yang "high cost". "Bisa jadi ada konstituen yang menemui karena istrinya mau melahirkan," katanya. Mengingat kebutuhan sumber pendanaan yang besar, kata Mahfudz, Anggota DPR memasuki permainan yang terkait dengan anggaran. Hal itu untuk memperoleh "fee". Anggota DPR pun berusaha melibatkan diri dalam penyusunan anggaran sampai Satuan III. "Itu dipertanyakan karena dengan memasuki Satuan III, maka sampai dapurnya. Itu membuka peluang KKN, peluang negosiasi dan konsensi-konsesi," katanya. Meskipun dalam bisnis manajemen "fee" hal biasa, bila terkait dengan status sebagai Anggota DPR, akan menimbulkan konsekuensi. Mengenai langkah KPK menangkap sejumlah Anggota DPR yang diduga terkait kasus suap, pihaknya menyatakan dukungan kepada KPK. "Hanya saja, `nangkep` Anggota DPR itu seperti `nangkep` ayam jago. Baru didekati sudah teriak-teriak. Beda dengan `nangkep` pejabat di birokrasi seperti `nangkep` ayam broiler,` katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008