Jakarta (ANTARA) - Aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk memberikan sanksi yang signifikan kepada korporasi yang terbukti menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terlebih lagi yang berulang.

"Memang seharusnya ini masif kita lakukan, dari awal kita selalu angkat bahwa penegakan hukum masih kurang. Baru beberapa hari lalu saya bertemu Pak Roy (Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Rido Sani), beliau selalu menyatakan kinerja Gakkum yang dibentuk Mei 2015 ini sudah sangat luar biasa. Itu klaimnya, sudah 700 kasus yang ditangani dan ada Rp3,9 triliun sanksi yang diberikan tapi memang yang baru bayar baru Rp400 miliar," kata Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, jika dibandingkan dengan kerugian negara karena kebakaran hutan dan lahan di 2015 yang mencapai lebih dari Rp221 triliun, beberapa orang meninggal maupun yang sakit, tentu nilai tersebut masih jauh dari kerugian yang ditimbulkan.

Baca juga: Greenpeace ungkap kebakaran lahan di konsesi perusahaan sawit Riau

Baca juga: Greenpeace: kabut asap adalah bencana kemanusiaan

Koordinasi dan sinergi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan aparat lain untuk penegakan hukum penanganan karhutla yang jelas, menurut dia, harus diperkuat baik di tingkat pusat hingga daerah. Sehingga kejadian seperti kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan di Riau yang diajukan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) terkena Surat Pemerintah Penghentian Penyidikan (SP3) tidak terulang lagi.

Greenpeace Indonesia, ia mengatakan akan terus mengampanyekan penegakan hukum terkait karhutla. Sejumlah temuan diperoleh dari analisis yang dilakukan menggunakan data resmi pemerintah yaitu data bekas kebakaran lahan seluas 3,4 juta hektare (ha) antara 2015 hingga 2018, yang kemudian dibandingkan dengan data konsesi pada perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas serta sanksi administratif dan perdata terhadap perusahaan, yang disusun melalui permintaan sesuai hak atas keterbukaan informasi dan laporan resmi pemerintah.

Terkait perkebunan kelapa sawit, Kiki mengatakan tidak ada satupun dari 10 konsesi dengan total area terbakar terbesar yang diberikan sanksi perdata maupun sanksi administrasi yang serius. Lalu tidak ada pencabutan izin dari perusahaan terkait karhutla, dan sejumlah lahan konsesi perusahaan yang terbakar berulang tidak menerima sanksi perdata atau administrasi yang serius.

Sedangkan temuan-temuan terkait perkebunan bubur kertas, ia mengatakan konsesi yang memiliki total area yang terbakar terbesar dari semua konsesi di seluruh Indonesia hanya menerima sanksi perdata atau administratif atas penanaman kembali di area yang sebelumnya terbakar. Lalu ada pula area perusahaan yang terbakar setiap tahun tetapi tidak menerima sanksi perdata maupun administrasi yang serius.

Sebelumnya Dirjen Gakkum LHK Rasio Rido Sani mengatakan terkait penanganan karhutla kali ini, sudah lima perusahaan dan satu perorangan yang ditetapkan Ditjen Gakkum sebagai tersangka karhutla yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Tersangka perorangan berinisial UB menyebabkan karhutla di Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya dengan luas lahan terbakar 274 ha.

Sedangkan PT SKM di Kecamatan Muara Pawan di Kabupaten Ketapang menyebabkan karhutla seluas 800 ha, PT ABP di Kecamatan Sungai Melayu Rayak dan Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang dengan luas lahan terbakar 80 ha, PT AER di Kecamatan Benua Kayong, Kecamatan Matan Hilir Selatan dan Kecamatan Sungai Melayu Rayak di Kabupaten Ketapang dengan luas lahan terbakar 100 ha.

Sementara itu, Kalimantan Tengah, perusahaan yang menjadi tersangka kasus karhutla adalah PT KS di Kabupaten Kota Waringin Barat dengan luas lahan terbakar 709 ha. Sedangkan PT IFP di Kabupaten Kapuas dengan luas lahan terbakar mencapai lima ha.

Baca juga: Derita setelah api padam

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019