Timika, Papua (ANTARA News) - Pencurian ikan yang dilakukan kapal-kapal berbendera asing di wilayah perairan Arafura dan Aru dalam setahun ditaksir merugikan negara sebesar Rp15 triliun, kata Dirjen Penanganan Pelanggaran Departemen Kelautan dan Perikanan, CN Patty di Timika, Kamis.Menurutnya, maraknya kasus pencurian di perairan Arafura dan Aru tidak lepas dari masih lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Untuk meminimalisir kasus pencurian ikan di wilayah Timur Indonesia, saat ini DKP menyiagakan lima kapal Hiu Macan yang fokus melakukan operasi mulai dari perairan sekitar Merauke, Timika, hingga Tual Maluku Tenggara.Pada bulan Februari-Maret lalu, KM Hiu Macan 04 berhasil menangkap 24 kapal yang diduga melakukan pencurian ikan di perairan sekitar Timika. Dari ke-24 kapal tersebut, dua kapal berbendera Taiwan yakni KM Huang Wen dan KM Guo Xhun 66.Kedua kapal tersebut merupakan kapal penampung ikan dari kapal-kapal penangkap yang mampu menampung 2.000 ton ikan. Ikan hasil tangkapan di Laut Arafura dan Aru selanjutnya dibawa ke Taiwan."Kendala yang kami hadapi yaitu hari berlayar sangat sedikit yakni hanya 100 hari setahun. Kami berharap hari berlayar kapal-kapal DKP ditambah hingga 200-250 hari setahun agar dapat melakukan pengawasan lebih efektif," tutur CN Patty.Menurutnya, saat ini terdapat sekitar 200 kapal sebesar KM Huang Wend an KM Guo Xhun yang beroperasi di perairan Arafura, enam diantaranya ditangkap di perairan Merauke beberapa waktu lalu."Perairan Arafura dan Aru sangat kaya dengan ikan-ikan, namun pengawasan masih sangat kurang. Rata-rata kapal yang ditangkap memiliki ijin legal berupa Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) yang dikeluarkan DKP tetapi dalam pelaksanaannya banyak yang tidak benar," kata CN Patty.Akibat dari maraknya kasus pencurian ikan oleh kapal berbendera asing di perairan Arafura dan Aru, saat ini nelayan setempat tidak mampu lagi bersaing dengan kapal-kapal asing."Tahun 1980-an di wilayah perairan Timika ada sekitar 40-an kapal nelayan kita yang beroperasi, saat ini hanya tinggal dua saja yang bertahan sementara yang lainnya dijadikan kapal kargo atau kapal pengangkut masyarakat. Hal ini terjadi karena peralatan kapal-kapal nelayan kita tidak canggih serta kesulitan mendapatkan bahan bakar," tutur Patty.Masih menurut Patty, Menteri DKP Fredy Numberi telah menerbitkan peraturan yang mengharuskan kapal-kapal asing yang memiliki ijin menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia untuk mendaratkan ikan di pelabuhan.Kapal-kapal tersebut juga diwajibkan membuat pabrik pengolahan ikan di Indonesia. Namun dalam kenyataannya, kapal-kapal tersebut cenderung mengambil ikan dari kapal-kapal lain di tengah laut lepas dan langsung mengapalkan ikan-ikan tersebut ke luar negeri.Sementara itu Kapten KM Hiu Macan 04, Albert S mengharapkan pemerintah menambah waktu beroperasi kapal-kapal milik DKP guna mengefektifkan pengawasan kapal-kapal asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia."Idealnya waktu berlayar sebanyak 20 hari sebulan. Kalau cuma 10 hari berarti hanya empat hari untuk operasi karena waktu yang lain hanya untuk sekedar melintas saja," tutur Albert.Menurut Albert, pengawasan kapal-kapal pencuri ikan di laut lepas sangat sulit mengingat kapal-kapal tersebut memiliki trik khusus untuk mengelabui petugas."Biasanya kapal penampung dan kapal penangkap janji bertemu di tengah laut lepas untuk menghindari pajak, retribusi dan lainnya," kata Albert sembari menambahkan saat ini masih banyak kapal-kapal berbendera China dan Thailand yang beroperasi di perairan Arafura dan Aru dengan teknologi yang canggih untuk menghindari kejaran petugas.Adapun 24 kapal yang ditangkap KM Hiu Macan 04 pada bulan Februari dan Maret lalu di muara perairan Timika rata-rata menangkap ikan campuran (demersial) seperti Kakap, Hiu, Layang, Cumi-cumi. Kapal-kapal tersebut memasang jaring dengan panjang mencapai 27 ribu meter pada kedalaman 40-60 meter.Rata-rata kapal-kapal tersebut memiliki ijin untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia seperti KM Huang Wen yang sudah 20 tahun beroperasi di Indonesia.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008