Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Anti Utang (KAU) menghimbau pemerintah Indonesia agar memanfaatkan undangan menghadiri KTT G8 di Danau Yoya, Hokaido, Jepang 7-9 Juli 2008 sebagai kesempatan meminta penghapusan utang luar negerinya, karena 91 persen dari total outstanding utang bilateral Indonesia yang mencapai Rp258,96 triliun berasal dari negara-negara G8.
"Penghapusan utang merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kerusakan sosial-ekonomi yang dialami oleh rakyat Indonesia akibat transaksi utang luar negeri selama ini. Kerusakan ditimbulkan oleh praktek liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan pencabutan subsidi yang didorong negara-negara kreditor," kata Ketua Sekretariat Nasional KAU, Dani Setiawan, di Jakarta, Kamis.
Menurut data KAU, di antara negara G8, Jepang merupakan kreditor bilateral terbesar Indonesia dengan jumlah outstanding utang sebesar Rp186,38 triliun.
"Negara G8 harus kembali didesak untuk melakukan penghapusan utang tanpa syarat kepada Negara Selatan (unconditional debt cancellation), termasuk kepada Indonesia. Koalisi Anti Utang memandang komitmen pengurangan utang (debt relief) yang dibuat oleh G8 pada pertemuan di Birmingham pada 2005 hanya bersifat karikatif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan krisis utang," katanya.
Dani menjelaskan, komitmen yang dibuat tersebut tidak menyentuh persoalan utang haram (odious debt) yang jumlahnya mencapai 500 miliar dolar AS seperti diungkap oleh LSM Jubilee yang berbasis di AS, padahal sudah sejak lama kelompok negara-negara maju tersebut menyatakan komitmennya untuk memberikan pemotongan utang.
"Sebagai salah satu contoh `odious debt` Indonesia yang perlu mendapatkan pembatalan utang terkait dengan utang Indonesia pada Inggris untuk pembelian pesawat jet Hawks dan tank Scorpion dari Inggris melalui mekanisme kredit ekspor.
Diperkirakan utang yang dibuat dalam masa Presiden Suharto itu 1 miliar dolar AS dan selama ini hanya mekanisme penjadwalan ulang (rescheduling) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Inggris, tanpa ada pengurangan nominal utang yang signifikan," katanya.
KAU mengatakan, tuntutan penghapusan utang bagi Indonesia tidak hanya karena utang tersebut merupakan utang haram, tetapi juga karena kebijakan penarikan utang tersebut justru menyebabkan kerusakan sosial-ekonomi bagi rakyat Indonesia.
"Terlalu banyak fee yang harus dibayar seperti `commitment fee`, `administration fee`, `front end fee`, dan `agent fee`. Ini justru lebih membebani masyarakat daripada pinjaman itu sendiri," jelasnya. (*)
Copyright © ANTARA 2008