Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak pada 6 September 2019.

Dikutip dari laman setkab.go.id, Selasa, PP 50/2019 ini diterbitkan dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 73A ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Menurut PP ini, Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak bertujuan untuk (a) meningkatkan upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak; (b) meningkatkan hubungan kerja yang sinergi dan dan harmonis dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak dan memperoleh data dan informasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Baca juga: Kemensos: Batas usia perkawinan 19 tahun untuk perlindungan anak

"Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, Menteri (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, red) harus melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait dan menetapkan tim koordinasi perlindungan anak. (Sementara) gubernur dan bupati/walikota mengoordinasikan pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah," bunyi Pasal 3 ayat (1,2, dan 3) PP ini.

Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dilakukan terhadap: (a) pemenuhan hak anak dan (b) perlindungan khusus anak, serta dilakukan melalui: a. pemantauan; b. evaluasi; dan c. pelaporan.

PP ini menyebutkan, pemantauan pelaksanaan pemenuhan hak anak dilakukan terhadap: a. pemenuhan hak sipil dan kebebasan; b. lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; c. pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan; dan d. pemenuhan hak pendidikan, waktu luang, budaya, dan rekreasi.

Baca juga: KPAI minta pengendara ojek daring patuhi etika perlindungan anak

Sementara pemantauan pelaksanaan perlindungan khusus anak, menurut PP ini, dilakukan terhadap: a. anak dalam situasi darurat; b. anak yang berhadapan dengan hukum; c. anak dari kelompok minoritas dan terisolasi.

Selanjutnya d. anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f . anak yang menjadi korban pornografi; g. anak dengan HIV/AIDS; h. anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; j. anak korban kejahatan seksual; k. anak korban jaringan terorisme; l. anak penyandang disabilitas; m. anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan o. anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

"Pemantauan sebagaimana dimaksud menghasilkan data dan informasi terkait dengan pelaksanaan pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak, yang merupakan bahan bagi menteri untuk melakukan evaluasi," bunyi Pasal 9 ayat (1,2) PP ini.

Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, merupakan bahan bagi menteri untuk menyusun pelaporan.

“Evaluasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun,” bunyi Pasal 14 PP ini.

Menurut PP ini, menteri menyusun laporan penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dan disampaikan kepada Presiden.

Baca juga: Mensos mengajak semua wujudkan lingkungan yang jamin hak anak

Laporan sebagaimana dimaksud, lanjut PP ini, juga menjadi pertimbangan bagi menteri dan pimpinan lembaga terkait dalam pengambilan kebijakan pelaksanaan pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak dan dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 12 September 2019.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019