Pangkalpinang (ANTARA News) - Terbatasnya penyaluran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang diterima nelayan tradisional Pangkalpinang mengakibatkan sekitar 50 persen mereka tidak melaut.Sebagaimana yang dikatakan Perdi, nelayan Kampung Opas, Pangkalpinang, Rabu, saat ini tidak melaut karena terbatasnya solar yang diterima nelayan di SPBU PPI Ketapang, ujarnya."Saat ini yang menjadi kendala adalah BBM sedangkan cuaca di laut cukup aman dan bagus untuk menangkap ikan," ujarnya.Ia menjelaskan, pasokan BBM di SPBU PPI Ketapang 10 ton perhari sedangkan untuk mengoperasikan kapal menangkap ikan, nelayan tradisional hanya mendapat jatah dua ton perhari dan sisa delapan ton BBM jenis solar itu untuk apa."Jumlah kapal nelayan yang berdomilisi di Kota Pangkalpinang berjumlah 250 kapal dan perharinya tiap kapal mendapat jatah 75 liter per hari dan terkadang tidak sampai karena pasokan jatah untuk habis," ujarnya. Menurut dia, dengan jumlah solar yang didapat nelayan sangat terbatas demikian juga alat tangkap yang masih relatif terbatas seperti jaring dan pancing sehingga tangkapan makin terbatas berbeda dengan kapal besar yang alat tangkapan sudah canggih. "Jika persediaan bahan bakar hanya 75 liter hanya cukup satu hingga dua hari dan itu tergantung cuaca, kalau misalkan angin dan gelombang tinggi akan banyak menghabiskan bahan bakar," ujarnya. Biaya nelayan sekali berangkat melaut menghabiskan dana Rp600 ribu sampai Rp700 ribu, sudah termasuk perbekalan seperti ransum minyak tanah. "Dengan biaya besar sedangkan waktu pergi melaut terbatas akan mengakibatkan pendapatan kurang dan akhirnya rugi," ujarnya. Terbatasnya pasokan BBM yang diterima nelayan banyak nelayan mencari kerja lain seperti menjadi kuli bangunan, pemulung dan menyewakan kapal kepada orang lain. "Ya, saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terpaksa bekerja menjadi kuli bangunan di pasar dalam pembangunan pasar BTC," ujarnya. Demikian juga yang dikatakan Sulaiman, nelayan Pangkalarang mengatakan untuk sementara berhenti menjadi nelayan dan menjadi pemulung di sungai Pangkalbalam. "Ya, saat ini mengandalkan sampah-sampah yang hanyut di sungai Rangkui dan pelabuhan Pangkalbalam dengan mengunakan perahu kecil sedangkan pergi melaut harus mengeluarkan biaya besar dan pendapatan tidak seberapa," pengakuannya yang tiap pergi melaut rugi. Sungai Rangkui merupakan sungai terpanjang di Bangka yang melewati Pasar Pembangunan Pangkalpinang, pelabuhan Pangkalbalam dan bermuara di laut. "Ya. lumayanlah hasilnya menjadi pemulung di sungai dari pada menjadi nelayan," ujar Sulaiman.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008