Jakarta (ANTARA News) - Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, Rabu, menegaskan dirinya tidak berbuat sendiri dalam kebijakan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI dan pembahasan revisi UU BI. "Bank Indonesia itu dipimpin oleh Dewan Gubernur," kata Burhanuddin setelah mengikuti sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Penggunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar untuk bantuan hukum dan pembahasan revisi UU BI itu diputuskan dalam rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003. Rapat yang dipimpin oleh Burhanuddin itu juga dihadiri oleh sejumlah anggota Dewan Gubernur BI. Burhanuddin menegaskan, segala keputusan dalam rapat Dewan Gubernur adalah keputusan bersama dan tak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dijelaskannya, kebijakan yang diambil BI adalah upaya untuk menyelamatkan perekonomian negara. "Tidak sepeser pun uang itu masuk ke kantong Gubernur BI," kata Burhanuddin. Sementara itu, penasihat hukum Burhanuddin, M. Assegaf mengatakan, jika keputusan rapat Dewan Gubernur dianggap salah, maka pertanggungjawaban harus dilakukan oleh semua peserta rapat, bukan hanya Burhanuddin. "Kalau itu dianggap melanggar hukum, seharusnya peserta rapat harus bertanggungjawab," kata Assegaf. Assegaf mengatakan, kebijakan Dewan Gubernur adalah kebijakan korporasi. Suatu kebijakan korporasi, katanya, tidak dapat dikriminalisasi. "Suatu kebijakan tidak bisa dikriminalkan," kata Assegaf. Berdasar laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Oey diduga menyerahkan dana YPPI sebesar Rp68,5 miliar kepada mantan pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang itu setelah diserahkan kepada mereka. Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Aznar Ashari kepada Panitia Perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Pada pemeriksaan di KPK, mantan Ketua Sub Panitia Perbankan Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, yang disebut menerima uang itu dari Rusli, membantah aliran dana tersebut. (*)

Copyright © ANTARA 2008