Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Indef, Aviliani, mengingatkan Bank Indonesia (BI) tidak reaktif menaikkan suku bunga (BI Rate) untuk meredam tingkat inflasi yang telah menembus asumsi 11-12 persen pada APBN 2008, karena hanya akan memperparah sektor riil. "Menaikkan (lagi) BI Rate diperkirakan makin menambah beban dunia usaha, karena mendorong tingginya harga bahan baku dan biaya energi," kata Aviliani di Jakarta, Rabu. Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/7), mencatat inflasi Mei 2008 sebesar 2,46 persen, sehingga inflasi tahun berjalan (Januari-Juni) 2008 mencapai 7,37 persen, dan inflasi "year on year" (Juni 2007-Juni 2008) mencapai 11,03 persen. Adapun pemerintah menetapkan asumsi inflasi pada APBN 2008 berkisar 11-12 persen. Sejumlah kalangan menilai bahwa pemerintah melalui otoritas perbankan akan kembali merespon tingginya inflasi dengan menaikkan BI Rate yang mencapai 8,50 persen. Menurut Aviliani, seperti pada pengalaman sebelumnya BI terkesan gegabah menaikkan suku bunga, padahal inflasi belakangan ini tidak murni akibat kenaikan BBM saja, tetapi juga dipicu faktor luar akibat meningkatnya harga minyak dan sejumlah komoditas di luar negeri. "Sehingga, walaupun BI menaikkan suku bunga, diproyeksikan tidak bakal dapat mengendalikan inflasi yang dipicu inflasi global oleh naiknya harga pangan dan energi," katanya. Lebih lanjut dijelaskan, inflasi tidak harus diikuti dengan menaikan BI Rate karena kondisi pasar saat ini sedang bagus, ditandai dengan aliran dana masuk cukup tinggi yang mencapai 150 juta dolar AS per hari. "Kenaikan BI Rate akan memicu pelepasan kepemilikan surat utang negara (SUN) di pasar modal karena suku bunga yield lebih tinggi," katanya. Harus diingat pula bahwa keputusan menaikkan suku bunga akan mendorong peningkatan biaya dana (cost of fund) yang berpotensi meningkat kredit masalah (NPL) perbankan. Karena selama ini kredit konsumsi masih mendominasi porsi alokasi kredit perbankan dalam negeri. "Jadi... tidak perlu menaikkan suku bunga karena lebih banyak mudaratnya. Selisih BI Rate dengan bunga dana The Fed juga cukup besar, sehingga masih menarik bagi investor," ujarnya. Aviliani berpendapat, BI sebagai lembaga independen yang menjaga nilai tukar rupiah, juga jangan sampai mengorbankan sektor riil. Karena menurutnya, salah satu penyebab inflasi tinggi dalam dua bulan terakhir (Mei dan Juni) lebih dipicu kegagalan pemerintah mengawasi sistem distribusi gas untuk keperluan rumah tangga. (*)

Copyright © ANTARA 2008