Jakarta (ANTARA News) - Badan PBB untuk urusan anak-anak (The United Nations Children`s Fund/UNICEF) menyarankan pemerintah segera menerbitkan peraturan tentang etika promosi susu formula untuk balita.Kepada ANTARA di Jakarta, Selasa, Ketua Bidang Kesehatan dan Nutrisi UNICEF Anne H. Vincent mengatakan hal itu sangat penting mengingat saat ini promosi susu formula di Indonesia sudah sangat agresif dan mulai mampu mengalihkan praktik pemberian air susu ibu (ASI) pada balita."Setahu saya, pemerintah sudah menyusun drafnya sejak tiga tahun lalu namun sampai sekarang aturannya belum terbit juga. Saya tidak tahu, di mana draf itu sekarang," katanya serta menambahkan draf itu sudah dibuat berdasarkan kode etik yang disusun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).Akibat belum adanya aturan tegas mengenai promosi susu formula, katanya, promosi dan iklan produk tersebut menjadi hampir tidak terkontrol.Pada kenyataannya, produsen produk susu formula dan makanan pendamping ASI dengan sangat bebas bisa mengiklankan produknya di berbagai media, bahkan tanpa mengindahkan beberapa aturan yang pernah dibuat seperti Permenkes No. 237/Menkes/VI/1997 tentang pemberian ASI dan Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan. Selain promosi di media massa, sebagian banyak pelaku usaha pembuat susu formula bahkan melakukan promosi langsung di sarana pelayanan kesehatan dan melalui petugas kesehatan. Hal yang demikian, kata Anne, bisa memengaruhi persepsi masyarakat tentang ASI dan susu formula dan membuat mereka melihat produk susu formula lebih baik dibanding atau setara dengan ASI. Di samping rendahnya dukungan dan konseling tentang pentingnya manfaat ASI dan tata cara pemberian ASI yang tepat bagi ibu, rendahnya tingkat pendidikan ibu serta kurang optimalnya peran infrastruktur dan tenaga kesehatan dalam diseminasi informasi mengenai ASI, hal itu juga diduga berpengaruh terhadap penurunan tingkat pemberian ASI eksklusif dalam lima tahun terakhir. Menurut ahli nutrisi UNICEF Anna Winoto, pada 2002, tingkat pemberian susu formula dalam botol kepada balita hanya 16,27 persen dan menurut data sementara Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 angkanya meningkat menjadi 27,9 persen. "Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kelahiran, selama periode itu menurun dari 7,8 persen menjadi 7,2 persen," katanya. Kondisi yang demikian, katanya, sangat memprihatinkan mengingat sebenarnya manfaat dan kandungan nutrisi ASI tidak bisa digantikan oleh susu formula paling berkualitas sekalipun. Ia menjelaskan, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama pasca-kelahiran dan dilanjutkan hingga usia dua tahun ditambah makanan pendamping ASI yang tepat akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Bayi-bayi yang mendapatkan ASI seperti itu, katanya, juga lebih terlindungi dari ancaman penyakit dan malnutrisi dibandingkan bayi yang mendapatkan susu formula atau pengganti ASI yang lain. Hasil penelitian Jones dan mitranya tentang pemberian ASI yang dipublikasikan di jurnal medis "The Lancet", menurut Anne, juga menunjukkan bahwa pemberian ASI bahkan akan bisa menyelamatkan jutaan balita dari kematian. "Berdasarkan hasil penelitian itu, menurut perhitungan kami 30 ribu nyawa balita bisa diselamatkan dari kematian dengan pemberian ASI," katanya. Ia menjelaskan pula bahwa inisiasi ASI dini pada satu jam pasca- kelahiran dapat menurunkan 22 persen kematian bayi baru lahir. "Artinya, 21 ribu bayi di Indonesia bisa diselamatkan," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008