Pengusaha sangat konsentrasi pada persiapan personel, sarana dan prasarana pemadaman kebakaran hutan dan lahan, termasuk upaya pencegahan dengan membentuk Desa Peduli Api dan Masyarakat Peduli Api yang ada di sekitar perkebunan.

Palembang (ANTARA) - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Sumatera Selatan Sumarjono Saragih mengatakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia semakin memperkuat stigma buruk masyarakat Eropa terhadap perkebunan sawit yang dalam kampanye hitamnya membuat opini sebagai perusak lingkungan.

Sumarjono yang dijumpai di acara Survei Daya Saing Usaha di Palembang, Senin, mengatakan kejadian ini akan berimplikasi negatif pada industri sawit nasional sehingga Apindo sangat menolak anggapan bahwa pengusaha sawit merupakan biang dari kebakaran lahan itu.

“Pengusaha dan buruh kami turut jadi korban atas kejadian ini, jadi jika ada pengusaha menyuruh karyawannya untuk membakar untuk membuka lahan baru itu sama saja dengan bunuh diri,” kata Sumarjono.

Ia mengatakan setiap pengusaha perkebunan sudah mengetahui bahwa terikat pada aturan hukum yang bersifat “strick liability” atau tanggung jawab mutlak. Artinya, jika terjadi kebakaran di dalam lahan konsesi yang diberikan izin oleh pemerintah maka akan bertanggung jawab mutlak meski sumber api tidak berasal dari dalam.

Oleh karena itu, pengusaha sangat konsentrasi pada persiapan personel, sarana dan prasarana pemadaman kebakaran hutan dan lahan, termasuk upaya pencegahan dengan membentuk Desa Peduli Api dan Masyarakat Peduli Api yang ada di sekitar perkebunan.

Apindo berharap semua pihak bisa berpikir jernih atas kejadian ini, atau tidak mudah saling menyalahkan. Apalagi jika merujuk pada fakta yang dirilis Global Forestry yang menyatakan bahwa kebakaran di lahan konsesi hanya 15 persen dari total luas lahan terbakar.

Baca juga: Sumsel turunkan tujuh helikopter pembom air atasi kebakaran lahan

Sementara itu di Sumatera Selatan, data Apindo menunjukkan hanya 2 persen dari total luas lahan terbakar karena areal terbakar juga terjadi di lahan-lahan tak bertuan, hutan dalam pengawasan pemerintah, dan lahan milik masyarakat.

Menurutnya semua pihak juga perlu meninjau kembali UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena dalam pasalnya yang mengizinkan kearifan lokal untuk membakar lahan kurang dari 2 hektare yang bertujuan untuk membuka areal perkebunan baru.

“Jika sudah terbakar, siapa yang bisa mengendalikan. Iya jika dibuat sekat bakar, jika tidak ?. Belum lagi, faktor cuaca yang kering dan angin yang kencang, api bisa saja melompat ke perkebunan milik konsesi, karena faktanya kebun-kebun kami berdampingan dengan milik warga,” kata dia.

Kebakaran hutan dan lahan melanda Sumatera Selatan selama musim kemarau ini dengan setidaknya telah menghanguskan lahan seluas 2.000 hektare yang tersebar di sejumlah kabupaten.

Data konsentrasi partikulat (PM10), partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron, yang disiarkan di laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada Senin (23/9) menyebutkan kualitas udara di Kota Palembang dalam kategori antara sangat tidak sehat hingga berbahaya dengan konsentrasi PM10 melampaui nilai ambang batas 150 gram/m3.

Data BMKG menunjukkan konsentrasi PM10 di Kota Palembang terus bergerak naik dari kisaran sangat tidak sehat 256,53 gram/m3 pukul 00.00 dan 348,66 gram/m3 pada pukul 01.00 menjadi 587,36 gram/m3 (berbahaya) pada pukul 06.00.

Konsentrasi PM10 terus naik hingga mencapai 632,06 gram/m3 pada pukul 07.00 sebelum kemudian secara bertahap turun sampai kembali ke tingkat 294,27 gram/m3 (sangat tidak sehat) pada pukul 11.00.

Berdasarkan data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dengan parameter PM2.5, hingga pukul 10.00 kualitas udara Kota Palembang tergolong sangat tidak sehat dengan ISPU berada pada angka 215 dan konsentrasi PM2.5 165,1 gram/m3.
Baca juga: Satgas karhutla maksimalkan Tim Reaksi Cepat di desa-desa Sumsel

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019