Jakarta (ANTARA News)- Pengamat ekonomi, Edwin Sinaga, mengatakan, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan menaikkan lagi suku bunga acuannya, BI Rate, sebesar 25 basis poin menjadi 8,75 persen, karena laju inflasi Juni cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Mei lalu. "Laju inflasi Juni diperkirakan akan lebih tinggi dari bulan sebelumnya, sehingga memicu BI untuk kembali menaikkan BI Rate yang saat ini telah mencapai angka 8,50 persen, " kata Edwin di Jakarta, Selasa. Laju inflasi Mei 2008 mencapai 1,41 persen, inflasi tahunan 10,38 persen dan inflasi tahun kalender mencapai 5,47 persen. Menurut dia, kenaikan BI Rate itu akan mendorong investor asing lebih suka bermain di pasar domestik ketimbang pasar lainnya, karena selisih bunga rupiah terhadap dolar AS semakin besar. Selisih bunga rupiah dan dolar AS saat ini mencapai 6,50 persen (8,50 persen - 2,0 persen), ujarnya. Tingginya laju inflasi Juni, lanjut dia, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7 persen, berimbas ke berbagai sektor, terutama kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah tampaknya kesulitan untuk menghindari kenaikan harga BBM dalam upaya mengimbangi anggaran pendapatan yang terus mengalami defisit, katanya. Kenaikan BI Rate, menurut dia, memang memberikan tekanan yang besar bagi BI untuk membayar pemilik dana yang menempatkannya di berbagai instrumen BI. Namun ini merupakan risiko dari dampak kenaikan suku bunga acuan itu, akibat dampak dari laju inflasi Juni 2008, ucapnya. Ia mengatakan, kenaikan BI rate ini bukan untuk meredam tekanan inflasi, tetapi hanya meredam dari sisi ekspektasi inflasi. Menurut dia, inflasi yang terjadi sekarang ini lebih disebabkan inflasi global yang dipicu oleh kenaikan harga pangan dan energi. "Inflasi sekarang ini disebabkan karena energi dan pangan, yang sebetulnya tidak bisa diredam Bank sentral mana pun. Sehingga kenaikan BI rate hanya akan meredam ekspektasi inflasi 6 bulan ke depan jadi bukan untuk menurunkan inflasi," jelasnya. Ia menegaskan, jika kenaikan BI rate hingga 100 basis poin tidak akan terlalu berdampak pada sektor riil, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya BI rate yang mencapai 16 persen. "Berdasarkan pengalaman sebelumnya BI Rate bisa mencapai 15-16 persen, namun kenyataanya justru sektor perbankan masin bisa berjalan. Memang dampaknya negatif ada, tetapi tidak akan memukul perekonomian Indonesia," jelasnya. Ia justru mengingatkan dan perlu mewaspadai lonjakan harga minyak dunia yang berpotensi menembus hingga angka 175 dolar AS per barel, inflasi global, resesi AS, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. "Faktor ini lebih serius dibandingkan dengan kenaikan BI rate," tambahnya. (*)
Copyright © ANTARA 2008