Semarang (ANTARA) - Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Dr Pratama Persadha memandang perlu penertiban penghimpunan data masyarakat guna mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Meski sudah ada 1.227 pihak yang diberikan akses oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil), praktik mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) di lapangan masih banyak terjadi," kata dia kepada ANTARA di Semarang, Minggu.
Ia mengatakan hal itu ketika merespons pengumpulan dokumen masyarakat, seperti fotokopi KTP, KK, dan Kartu Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, terkait dengan Program Indonesia Sehat dan Pendekatan Keluarga (PISPK) Kementerian Kesehatan di Depok, Jawa Barat.
Dalam kegiatan tesebut, Kementerian Kesehatan meminta bantuan pemerintah daerah untuk menghimpun data lewat Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan kader pos pelayanan terpadu (posyandu).
Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyayangkan praktik penghimpunan data masyarakat yang masih marak terjadi. Hal itu seharusnya tidak lagi terjadi, apalagi ada data penting yang dikumpulkan.
Pratama yang pernah menjadi wakil ketua Tim Lemsaneg (sekarang Badan Siber dan Sandi Negara/BSSN) Pengamanan Pesawat Kepresidenan lantas mempertanyakan, "Ini ada KTP dan KK yang dikumpulkan, untuk apa? Masyarakat tidak sedang pinjam uang bank."
Bahkan, kata dia, seharusnya dengan model akses terbuka oleh dukcapil, pihak perbankan pun tidak perlu lagi meminta fotokopi identitas masyarakat. Hal ini mengingat tujuan warga memiliki KTP elektronik membuat layanan administrasi di Tanah Air berjalan lebih cepat sekaligus memotong banyak jalur birokrasi berbelit.
Untuk mempercepat layanan apa pun, dukcapil telah membuka akses bagi banyak pihak, baik swasta maupun instansi pemerintah untuk melakukan sinkronisasi data kependudukan.
Penanggung Jawab
Menyinggung kembali soal pengumpulan dokumen masyarakat, dia menanyakan ke mana data tersebut, kemudian siapa yang bertanggung jawab bila terjadi penyalahgunaan. Apalagi, Indonesia belum ada UU Perlindungan Data Pribadi.
Jika kelak undang-undang itu sudah ada, setiap penghimpun data masyarakat harus mengamankan data tersebut. Bahkan, ada ancaman pidana maupun perdata bila disalahgunakan.
"Ibu-ibu PKK dan posyandu kemungkinan besar tidak mengerti betapa bahayanya mengumpulkan data kependudukan tersebut," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Ia lantas menanyakan, "Data ini mau diapakan oleh Kemenkes? Bila terjadi penyalahgunaan apakah Kemenkes bisa bertanggung jawab? Ini serius, penghimpunan data kependudukan harus ditertibkan."
Apalagi, lanjut dia, di dalam KK tertera nama ibu kandung, artinya bisa disalahgunakan untuk mengelabui transaksi perbankan. Oleh karena itu, perlu transparansi siapa pihak yang menyimpan data, baik dalam proses maupun akhir. Dalam hal ini, Kemenkes bisa bekerja sama dengan dukcapil sehingga tidak harus menghimpun data masyarakat.
Ia mencontohkan kasus jual beli data masyarakat pada bulan Agustus 2019. Polisi menangkap sejumlah orang yang memperjualbelikan data masyarakat. Hal ini menandakan bahwa banyak pihak yang butuh data kependudukan, mulai dari perusahaan besar sampai konter seluler di pinggir jalan, bahkan juga para pelaku kriminal.
Di Eropa, misalnya, ada general data protection regulation (GDPR) atau regulasi umum perlindungan data yang melindungi data warga. Setiap data warga Uni Eropa yang disalahgunakan, penghimpun dan pengelolanya bisa dituntut jutaan euro.
"Jadi, data ini tidak main-main," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg (sekarang BSSN).
Pewarta: D Dj Kliwantoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019