Bandarlampung (ANTARA News) - Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD, dan DPRD, terutama yang termuat pada Pasal 99, dinilai masih mengancam kehidupan pers, kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Tarman Azzam. "UU Pemilu pada Pasal 99, terutama pada huruf e dan f sangat mengancam kebebasan pers dan tidak masuk akal," kata Tarman, pada Diskusi Publik Sosialisasi UU Partai Politik dan UU pemilihan kepala daerah (Pilkada) Langsung, di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) Bandarlampung, di Bandarlampung, Senin.Pasal 99 UU Pemilu itu menyebutkan sanksi, berupa teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Padahal, menurut Tarman, dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegaskan, tidak ada lagi sensor dan pembredelan terhadap pers. Pasal 97 dalam UU Pemilu yang mengharuskan media massa cetak dan siaran untuk menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara, serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu, juga dinilai mengancam kehidupan pers nasional. "Tidak mungkin calon gubernur, misalnya, beritanya harus sama antara koran yang satu dengan yang lainnya," kata Tarman lagi. Oleh karena itu, lanjut dia, organisasi pers seperti PWI dan liansi Jurnalis Independen (AJI) telah menyiapkan gugatan hak uji materil (judicial review) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Pemilu itu. Ia menambahkan, pers selain berfungsi memeberikan informasi, fungsi kontrol sosial dan fungsi hiburan, juga mampu mengawal demokrasi. Sementara itu, Anggota DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan bahwa sanksi yang diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 99 UU Pemilu itu bukan masalah pemberitaan, tetapi masalah iklan kampanye di media cetak maupun lembaga penyiaran, seperti dijelaskan pada Pasal 93, 94 dan 95 UU itu. Menurut dia, pembekuan kegiatan pemberitaan; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak sebagaimana tercantum pada Pasal 99 huruf e dan f, dimungkinkan tidak dijatuhkan kepada media cetak dan penyiaran publik. (*)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008