Jakarta (ANTARA News) - Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR/MPR Jakarta, minggu lalu, memutuskan meneruskan hak angket DPR terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam sidang yang dipimpin Ketua DPR, Agung Laksono, itu hanya Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrat yang tidak setuju penggunaan hak angket DPR atas kasus tersebut. Fraksi Partai Golkar berpendapat, harga minyak mentah dunia sudah mencapai 140 dolar AS per barel, sehingga subsidi memberatkan APBN 2008 yang menetapkan harga minyak "hanya" sebesar 95 dolar AS per barel. Karena itu, FPG menilai pilihan terakhir menyelamatkan APBN adalah menaikkan harga BBM. Sedangkan Fraksi Partai Demokrat menyatakan bahwa keputusan menaikkan harga BBM juga ditempuh negara lain, seperti Malaysia, China, dan India. Menurut fraksi itu, kenaikan harga BBM sesuai dengan UU tentang APBN 2008, sehingga tidak menyalahi aturan UU. Dalam Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR disebutkan bahwa hak angket merupakan salah satu hak DPR yang digunakan untuk menyelidiki "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan". Sesuai ketentuan, setelah disetujui dalam rapat paripurna, DPR kemudian membentuk sebuah panitia khusus hak angket -- yang disebut Panitia Angket -- untuk kenaikan harga bahan BBM guna menyelidiki kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 28,7 persen pada akhir Mei. Panitia Angket terdiri atas perwakilan masing-masing fraksi DPR dengan jumlah anggota sekitar 50 orang. Penunjukan anggota Panitia Angket akan dilakukan secara proporsional, sehingga parta-partai besar akan memiliki jumlah anggota yang besar dalam Pansus. Setelah Panitia Angket terbentuk, tim tersebut segera melakukan pemanggilan kepada pejabat pemerintah maupun non-pemerintah terkait dengan kebijakan energi nasional dan kebijakan harga BBM bersubsidi. Sejumlah kalangan melihat adanya unsur politis di balik persetujuan DPR mengenai penggunaan hak angket tersebut karena pada saat pengambilan keputusan itu, di depan pintu gerbang Gedung DPR Jl Gatot Subroto, ada unjuk rasa yang dilakukan ribuan orang. Unjuk rasa itu berujung pada aksi anarkis berupa perusakan pagar Gedung DPR dan pagar jalan tol. Aksi anarkis juga terjadi di sekitar kawasan Semanggi dan di depan kampus Atma Jaya, yang mengakibatkan rusaknya sejumlah mobil polisi serta sebuah mobil plat merah yang dibakar massa. Pengalaman membuktikan, penggunaan hak angket pernah menjadi "jembatan" dilakukannya pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001. Ketika itu, DPR menyetujui penggunaan hak angket dalam kasus penyalahgunaan dana non bujeter Bulog (Buloggate) dan bantuan dari Sultan Brunei Darussalam (Bruneigate). Pada tahapan berikutnya, kalangan legislatif menyetujui digelarnya Sidang Istimewa MPR yang akhirnya menjungkalkan Abdurrahman "Gus Dur" Wahid dari kursi Presiden RI. Namun, kondisi saat ini nampaknya berbeda dengan kondisi saat hak angket menjadi awal pemakzulan Gus Dur. Ketika itu, dimensi politis penggunaan hak angket sangat kuat dan Gus Dur tidak memiliki cukup dukungan kuat di parlemen. Pemakzulan Meski demikian, kekhawatiran hak angket kali ini berujung pada pemakzulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat terlontar. Partai Demokrat, misalnya, mengkhawatirkan keputusan DPR meloloskan hak angket mengenai kenaikan harga BBM diarahkan untuk memakzulkan pemerintahan. Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR, Syarief Hasan mengatakan, arah pemakzulan terhadap pemerintahan melalui hak angket dapat dilihat dari pandangan fraksi-fraksi DPR yang menganggap bahwa dengan menaikkan harga BBM, pemerintah telah melanggar konstitusi. "Dengan menganggap adanya pelanggaran konstitusi, maka arah sikap fraksi-fraksi itu sudah bisa ditebak, yaitu pemakzulan pemerintahan. Tidak ada jaminan hak angket justru untuk membantu pemerintah," katanya. Dia mengemukakan, kesalahan korporasi di Pertamina dan kesalahan kebijakan Departemen ESDM tidak bisa dibebankan kepada pemerintahan saat ini saja. Dia juga mempertanyakan sikap pimpinan partai ataupun kader-kader partai yang memiliki menteri di kabinet yang terkesan tidak mau tahu terhadap sikap fraksinya di DPR. "Mereka seharusnya konsisten kalau sudah menempatkan orang-orangnya di pemerintahan," katanya. Senada dengan itu, Partai Golkar juga mengakui hak angket bisa menjadi "bola panas" yang bergulir ke berbagai arah tanpa bisa diprediksi, apalagi bila Anggota DPR tergoda untuk mempolitisasi hak tersebut. Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR, Priyo Budi Santoso mengemukakan, hak angket merupakan senjata pamungkas dibanding hak DPR lainnya. "Agak `ngeri` memang. Angket kenaikan harga BBM ini apa dan ke mana arahnya," kata Priyo. Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Dr Denny Indrayana, mengaku tidak yakin delapan fraksi DPR akan tetap solid soal hak angket atas keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, karena kepentingan masing-masing fraksi bisa berbeda-beda. "Hak angket memungkinkan terjadinya turbulensi politik. Begitu angket disetujui, maka godaan pemakzulan menguat. Apalagi ini menjelang Pemilu 2009," katanya. Mengenai pemakzulan, Denny mengemukakan hal itu bergantung pada kesimpulan yang dicapai. "Hak angket ini paling kokoh. Panitia Angket bisa panggil siapa saja. Hak angket juga memiliki rentang waktu panjang, meskipun masa tugas anggota DPR berakhir bisa dilimpahkan ke anggota DPR periode selanjutnya," kata Denny. Jangan dipolitisasi Namun, kekhawatiran tersebut dibantah Ketua DPR, Agung Laksono yang menyatakan bahwa hak angket tidak akan mengarah kepada pemakzulan Presiden Yudhoyono. "Memang secara teori garisnya ada (menuju pemakzulan), tetapi itu tidak secara otomatis," katanya. Untuk melakukan pemakzulan terhadap presiden itu ada sejumlah prakondisi yang harus dipenuhi, seperti presiden melakukan pelanggaran pidana berat, korupsi, atau pengkhianatan pada negara dan selanjutnya tuduhan tersebut dinilai Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam kenaikan harga BBM, maka yang dipersoalkan adalah kebijakan yang telah diambil pemerintah. Karena itu, Agung menilai, hak angket lebih mengarah pada upaya DPR menyelidiki kebijakan menaikkan harga BBM tersebut serta nuansa yang melatarinya dan bukan untuk memakzulkan presiden. Sedangkan Ketua MPR, Hidayat Nurwahid mengingatkan anggota DPR untuk tidak menjadikan hak angket terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sekadar masalah politik. "Jangan hanya dipolitisasi yang ujungnya pemakzulan. Anggota Dewan jangan menjadikan hak angket sebagai masalah politik," katanya. Ia mengatakan hak angket adalah hak terhormat anggota Dewan untuk melakukan penelitian dan perbaikan atas kebijakan pemerintah. Hak angket adalah sesuatu yang betul-betul diharapkan dapat mengembalikan harkat martabat DPR sebagai lembaga yang terhormat untuk berpihak pada rakyat melalui kebijakan yang merakyat. Karena itu, jika dijalankan dengan baik, hak angket DPR diharapkan bisa membongkar mafia BBM dari hulu ke hilir. "Minimal akan bisa memperbaiki kebijakan energi ke depan, baik yang terkait dengan BBM, gas, panas bumi, batu bara dan lain-lain," kata salah satu Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzzammil Yusuf. Menurut dia, hak angket DPR soal kenaikan harga BBM juga bisa menjadi ukuran penting baik buruknya wajah atau citra DPR saat ini. Jika angket BBM menghasilnya sesuatu yang signifikan seperti sikap DPR yang kritis dan hasilnya konstruktif untuk memperbaiki kebijakan energi nasional, maka akan memperbaiki citra DPR secara umum. Tetapi, kata dia, jika hak angket itu malah dimanfaatkan untuk "bargaining" (posisi tawar-menawar) fraksi-fraksi dengan pemerintah guna kepentingan yang "sempit" kedua belah pihak, maka akan merusak citra DPR secara keseluruhan. "Kita tak berharap hal ini terjadi, karena ini bisa mendorong frustrasi nasional, yang bisa menyulut kemarahan publik, sehingga mengancam Pemilu 2009 yang sudah sangat dekat," kata Muzzammil yang juga anggota Komisi I DPR itu. (*)
Pewarta: Oleh Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2008