Madrid (ANTARA News) - Kongres Perminyakan Dunia yang ke-19 dibuka di Madrid, Minggu malam, dengan para pemain utama dalam pertemuan itu akan membicarakan industri di masa mendatang, di tengah lonjakan harga minyak dunia dan kekhawatiran negara produsen dan konsumen. Setelah harga minyak sempat menembus angka simbolis 140 dolar per barel di London dan New York pada Kamis pekan lalu, minyak terus menunjukkan rekor tinggi baru, dengan harga melonjak menjadi 142,97 dolar di London dan 142,99 di New York pada Jumat (27/6). Kongres yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali itu akan mempertemukan ribuan delegasi dari seluruh dunia. Di antara para peserta kongres yang akan berlangsung empat hari itu antara lain Presiden Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) Chakib Khelil, Sekjen OPEC Abdallah El-Badri, Direktur Eksekutif Lembaga Energi Internasional Nabuo Tanaka, Komisioner Eropa untuk Energi, Andris Pielbalgs dan juga beberapa menteri. Mereka akan bergabung dengan para pemimpin kelompok minyak internasional utama, termasuk Christophe de Margerie (Total), Jeroen van der Veer (Shell), Rex Tillersondari dari raksasa minyak Amerika Serikat ExxonMobil serta Fu Chengyu dari perusahaan minyak China CNOOC. Agenda yang akan mendominasi selama kongres adalah topik-topik panas, yakni jaminan pasokan minyak dunia, keseimbangan pasokan dan permintaan, cadangan minyak dunia serta lonjakan harga produk minyak sulingan. Namun, sebaliknya para spekulator yang memainkan peranan kunci dalam melonjaknya harga minyak justru tidak masuk dalam agenda. Ini yang menjadi pokok pembicaraan pada pertemuan para konsumen dan produsen di Jeddah, Arab Saudi, akhir pekan lalu. Harga diperkirakan oleh presiden OPEC akan mencapai rekor tinggi baru menembus kisaran 15-170 dolar AS per barel dalam beberapa bulan ke depan. Para ahli sepakat bahwa hanya hasil konkrit pengumuman Arab Saudi bahwa negara itu akan menaikkan produksi harian dengan lebih dari 200.000 barel menjadi 9,7 juta. Sebagian besar anggota OPEC tetap secara sungguh-sungguh menentang terhadp setiap kenaikan dalam produksi mereka dan menuduh para spekulator dan pelemahan nilai tukar dolar telah menjadi penyebab kenaikan harga minyak tersebut, yang telah mengalami kenaikan dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir, demikian laporan AFP. (*)
Copyright © ANTARA 2008