Brisbane, (ANTARA News) - Mayoritas warga Australia di negara bagian New South Wales (NSW) yakin Schapelle Corby adalah pelaku aksi penyelundupan 4,2 kilogram mariyuana ke Bali tahun 2004. Keyakinan mayoritas warga NSW itu sesuai hasil survei eksklusif "Taverner Research" untuk Suratkabar "The Sun-Herald" Sydney untuk mengukur opini publik pasca-penayangan film dokumenter "Schapelle Corby: The Hidden Truth" (Schapelle Corby: Kebenaran yang Tersembunyi) di Stasiun TV "Channel Nine" pada 22 Juni dan 24 Juni lalu, Harian "The Sydney Morning Herald" melaporkan, Minggu. Hasil survei tersebut menunjukkan 53 persen responden percaya Corby bersalah, 15 persen tetap melihat wanita asal Gold Coast, Queensland, itu "tidak bersalah", dan sisanya tidak yakin dengan pilihannya. Penayangan film dokumenter "Schapelle Corby: The Hidden Truth" itu sendiri dilaporkan ditonton oleh sedikitnya 1,6 juta orang. Namun hasil survei itu juga menunjukkan mayoritas responden menginginkan Corby melanjutkan masa hukumannya selama 20 tahun penjara itu di Australia. Berkaitan dengan pengungkapan "kebenaran" di balik kasus Corby oleh Stasiun TV "Saluran Sembilan" (Channel Nine) Australia itu, mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, mengatakan, Indonesia patut bersyukur karena "keadilan" dalam kasus Corby yang sempat memicu sentimen negatif sebagian publik negara itu, justru dibeberkan oleh stasiun televisi Australia sendiri. "Kita patut bersyukur bahwa keadilan dicapai di Australia," katanya dalam wawancara telepon dengan ANTARA saat dirinya masih berada di Darwin, Australia, 24 Juni lalu. Wimar mengatakan, keadilan bagi Indonesia dalam kasus Corby yang diungkap oleh media Australia sendiri merupakan sebuah perkembangan bagus. Dalam upaya membangun hubungan bilateral yang lebih dewasa, pemerintah dan rakyat kedua negara sudah sepatutnya menjadikan kebenaran sebagai "acuan utama". "Kalau kita salah ya salah, kalau kita benar ya benar," katanya. Apa yang dilakukan Stasiun Televisi "Channel Nine" Australia patut juga dilakukan oleh media di Indonesia seandainya warga negara Indonesia terbukti bersalah, katanya. Persoalan emosi publik di kedua negara terkait dengan isu-isu sensitif, seperti kasus Corby tahun 2004-2005, Wimar mengatakan, diperlukan pendidikan publik di kedua negara. Bagi Indonesia, sudah tidak zamannya lagi warga berlindung di balik alasan "merah putih" untuk membela kesalahan, katanya. Sosok Corby dan keluarganya Sementara itu, terkait dengan bagian kedua tayangan film dokumenter Corby di Stasiun TV "Channel Nine", 24 Juni malam, para pemirsa disodori rangkaian fakta yang semakin menguak sosok Corby dan keluarganya. Selain menguak perihal kehancuran hubungan mantan pengacara dengan keluarga Corby, film itu juga membeberkan fakta bahwa sejak hari penangkapannya pada 8 Oktober 2004, Corby sebenarnya sudah secara tidak langsung mengetahui bahwa di dalam tas papan selancar itu ada bungkusan berisi 4,2 kilogram mariyuana. Pengakuan tak langsung Corby itu disampaikan Ngurah Winata, aparat bea cukai Bandar Udara Ngurah Rai Denpasar yang bertugas menangani tas papan selancar wanita asal Gold Coast, Queensland, itu, dalam wawancara di film dokumenter tersebut. Bahkan Corby, katanya, mengetahui bahwa di dalamnya mariyuana dari baunya. Hubungan antara tim pengacara dan keluarga Corby juga "hancur berantakan" setelah Corby divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada 27 Mei 2005 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Dalam konteks hubungan Indonesia dan Australia, kasus wanita yang sudah menjalani tiga tahun dari 20 tahun masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Krobokan Bali ini sempat memunculkan sentimen negatif publik Australia terhadap Indonesia. Pada saat kasusnya ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia pada 2004-2005, pemberitaan media cetak dan elektronika Australia yang sedemikian rupa telah membentuk opini publik bahwa Corby "tidak bersalah". Saat opini publik Australia masih berpihak kepada Corby, KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya sempat menjadi sasaran kekesalan orang-orang yang tidak bertanggung jawab di negara itu. Beberapa bentuk kekesalan mereka yang bersimpati kepada "nasib" Corby ketika itu adalah pengiriman surat bernada ancaman dan paket berisi "serbuk putih" yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra, serta vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008