Bandarlampung (ANTARA News) - Para wartawan, akademisi, penulis, aktivis LSM, dan kalangan partai politik di Lampung mendebatkan "Wartawan Menjadi Tim Sukses (TS)" yang ditengarai kini marak dilakukan menjelang pemilu gubernur (pilgub) Lampung tahun 2008.Dalam diskusi jurnalisme yang digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, di Bandarlampung, Sabtu, bekerjasama dengan Bengkel Jurnalisme, baik kalangan praktisi media dan akademisi maupun LSM di Lampung menyadari akan peran dan fungsi wartawan serta media massa yang sangat strategis itu.Namun lembaga media massa, organisasi profesi media serta para wartawan diharapkan tetap berpihak pada kebenaran dan kepentingan masyarakat secara luas.Karena itu, saat wartawan (jurnalis) ikut terlibat menjadi "TS" salah satu calon kepala daerah atau menjadi fungsionaris partai politik (parpol), sikap independen dan profesional yang harus selalu melekat pada profesi wartawan, akan menjadi terabaikan."Tidak mungkin wartawan menjadi profesional dan independen, kalau yang bersangkutan menjadi "TS" salah satu kandidat kepala daerah," kata Ketua AJI Lampung, Juwendra Asdiansyah pula. Tapi dia menyatakan, keterlibatan wartawan atau lembaga media massa untuk menjadi "TS" atau mendukung calon maupun parpol tertentu merupakan sebuah pilihan. "Konsekuensinya, karena tidak sejalan lagi dengan kode etik sebagai wartawan, sebaiknya wartawan yang bersangkutan beralih profesi atau berhenti sebagai wartawan agar tidak terjadi konflik kepentingan dan masalah karenanya," kata Juwendra pula. Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) wartawan Indonesia yang disepakati oleh 29 organisasi wartawan, termasuk AJI, PWI, ATVSI, KWRI, dan IJTI diatur 11 pasal ketentuan kode etik yang harus dijalankan para wartawan. Diantara etika itu, adalah wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain). Wartawan juga tidak dibenarkan membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap, tidak menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi, menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Namun begitu, menurut pengamat politik, Suwarno Utomo, keberadaan wartawan yang strategis serta hak individualnya memungkinkan dapat menjadi "TS", sepanjang mengikuti aturan main dan mekanisme yang berlaku agar tetap dapat menjaga independensi dan sikap profesionalnya. Dia menyarankan, saat wartawan masuk ke ranah politik itu, sebaiknya memilih untuk cuti sebagai wartawan atau sekalian berhenti saja. Tapi sejumlah aktivis LSM dan praktisi media mengingatkan, daya tarik wartawan dan media massa terlibat dukung mendukung calon kepala daerah tertentu karena alasan ekonomis, bukan alasan politik dan ideologi semata. "Kalau kebanyakan wartawan dalam kondisi kurang sejahtera, dengan mudah akan gampang tergiring menjadi "TS" atau pendukung calon tertentu seperti itu," kata Oki Hajiansyah, aktivis yang juga penulis itu pula. Akademisi dari FISIP Universitas Bandarlampung (UBL), Drs Jauhari M Zailani MSc juga mengingatkan, kondisi umumnya media massa di Indonesia termasuk Lampung, mengalami krisis akibat terpaan kepentingan kapital (modal) di dalamnya sehingga kerap menjadi tidak berdaya memperjuangkan idealismenya. "Tapi bukan hanya media massa dan para wartawan yang menjadi tidak berdaya, umumnya kekuatan civil society pun cenderung kalah dengan kekuatan kapital itu," ujar mantan Dekan FISIP UBL itu pula. Akibatnya, kepentingan publik yang seharusnya diemban oleh wartawan dan media massa menjadi diabaikan, sehingga kepentingan "titipan" itulah yang lebih kentara diperjuangkan.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008