Shanghai, China (ANTARA) - Jika bertandang ke China, khususnya Kota Shanghai yang menawarkan aneka produk di distrik perbelanjaan Nanjing, wisata Sungai Pudong, kuliner di berbagai titik, hingga museum bersejarah, Anda bisa memanfaatkan berbagai moda transportasi mulai dari bus, kereta hingga taksi.
Bagi yang tidak mau repot berjalan kaki ke stasiun, taksi menjadi alternatif paling praktis di Shanghai. Bila Anda berdiri di pinggir jalan Shanghai, hampir setiap saat taksi melintas, baik itu konvensional maupun online.
Lantas, bagaimana perbedaannya? ANTARA mencoba menggunakan taksi konvensional dari kawasan Pudong menuju Huangpu di tengah Kota Shanghai pada Rabu (17/9). Perjalanan sejauh 60,7 kilometer selama satu jam itu memakan biaya 220 rmb (yuan) yang setara Rp436ribu.
Sedangkan pada keesokan harinya, menjajal taksi online melalui platform Didi Taxi dengan jarak yang sama, namun berbiaya lebih murah yakni 206 rmb, setara Rp408 ribu.
Keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Jika ingin cepat pakailah taksi konvensional karena bisa langsung didapatkan di mana saja. Sedangkan taksi online, sama seperti di Indonesia, Anda harus menunggu armada yang menerima pesanan itu datang.
"Rata-rata penumpang menunggu tiga sampai 10 menit. Karena kami harus mencari dan memutar lebih jauh jika pemesan ada di jalan satu arah. Di Shanghai banyak jalan satu arah, tidak bisa langsung memutar balik jemput penumpang," kata Dongxu Yu (44 tahun) yang mengemudikan Volkswagen Touran saat mengantar dari Dapu Road ke Bandara Pudong, Shanghai.
Di sisi lain, menggunakan taksi online akan memberikan kepastian tarif yang tertera pada layar ponsel. Tarif itu juga tertera pada layar argo di dashboard pengemudi taksi.
Ia menjelaskan, tarif awal taksi jenis sedan seharga 14 rmb (Rp27,8 ribu) sedangkan tarif buka pintu taksi jenis minibus 16 rmb (32,8 ribu), yang berlaku untuk 3 kilometer pertama. Selanjutnya tarif menjadi 2,5 rmb pada 10 kilometer pertama, dan meningkat menjadi 3,5 rmb pada 10 kilometer seterusnya.
Ia mengatakan tidak ada persaingan antarpengemudi taksi online dan konvensional karena sudah memiliki pasarnya masing-masing.
"Misalnya, Anda pulang tengah malam, nyaris pagi hari, tentu mau cepat-cepat cari taksi offline yang ada di depan mata Anda, daripada menunggu," kata Dongxu.
Baca juga: Sopir Uber di Denmark bayar denda untuk tiap tumpangan
Baca juga: Uber Jepang berkolaborasi dengan taksi konvensional
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019