Sidoarjo (ANTARA News) - Sekitar seribu warga yang tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) non sertifikat, hingga kini belum menentukan pilihan antara terus memperjuangkan "cash and carry" atau menerima tawaran Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dalam ganti rugi dengan model "cash and resettlement".
Sekretaris GKLL Khoirul Huda saat dihubungi, di Sidoarjo, Jumat mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan pendekatan dan konsultasi intensif dengan mereka untuk menentukan pilihan.
Namun, sebagian besar atau sekitar 2.000 warga korban lumpur lainnya yang juga tergabung dalam GKLL, sudah sepakat memilih ganti rugi dengan sistem cash and resettlement.
"Bahkan, pada Rabu (25/6), mereka (2.000 warga GKLL) sudah menandatangani kesepahaman dengan MLJ," katanya.
Menurut dia, jalan itu dipilih karena GKLL menilai tidak ada payung hukum yang menaungi aset berupa tanah nonsertifikat (petok D dan letter C), sehingga tanah tersebut tidak dapat diaktajualbelikan (AJB).
Warga sendiri merasa sangat setuju dengan pembayaran ganti rugi pola ini. "Ini adalah penyelesaian yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan hati nurani," katanya.
Sistem Cash And Resettlement menyepakati adanya proses ganti rugi pada korban berupa uang tunai dan tempat tinggal baru.
Berdasar nota kesepahaman yang ditandatangani manajemen MLJ dengan GKLL per 25 Juni 2008 disebutkan, penyelesaian sisa pembayaran 80 persen untuk lahan dan bangunan dengan bukti kepemilikan petok D, letter C atau SK Gubernur.
Sistem ini membayar bangunan warga korban lumpur dengan harga Rp 1,5 juta/m2 yang bisa dicairkan maksimal dua bulan setelah penandatanganan. Untuk resettlement tanah dengan perbandingan 1:1 terletak di kawasan Kahuripan Nirwana Village. Sementara, tanah sawah di Desa Sambibulu, Kecamatan Sukodono.
Sistem yang mulai efektif berjalan per 1 Juli 2008 itu menganggap uang muka 20 persen yang telah dibayarkan MLJ kepada warga tidak dihitung atau dianggap hibah.
Dengan disepakatinya sistem ini, maka MLJ tidak akan melakukan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan hanya petok D, letter C, atau SK Gogol dalam situasi apapun.
Selain itu, tambah Andi, tanah bersertifikat atas nama masing-masing pemilik yang akan diserahkan maksimal setahun setelah penandatanganan, tanah kavling dapat diserahkan ke pemilik maksimal delapan bulan, tanah dapat dijual kembali ke MLJ dengan harga Rp 1 juta/M2.
Setelah setahun dan diikat dengan akta notariat, dan tanah yang luasnya di bawah kavling yang tersedia akan dilakukan konversi.
Jumlah lahan dan bangunan terdampak lumpur panas Porong yang tidak mempunyai sertifikat saat ini diperkirakan sebanyak 4.500 bidang.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008