Jakarta (ANTARA) - World Wide Fund (WWF)-Indonesia meminta pemerintah pusat memperjelas regulasi atau kewenangan Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua agar tidak berbenturan dengan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
"Kalau memang masih ada kekurangan dari aturan yang dibuat pemerintah daerah, sebutkan apa saja substansi yang harus diubah sehingga pengelolaan hutan tidak simpang siur," kata Direktur Program Papua WWF-Indonesia Benja Mambai di Jakarta, Kamis.
Ia menilai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 13 Tahun 2010, semuanya memperhatikan aspek pelestarian lingkungan.
Baca juga: Praktisi dorong ekowisata berkarakter budaya untuk jaga hutan Papua
Namun penerapannya di lapangan, kelompok masyarakat adat Papua tidak bisa mengelola hutan di tanahnya secara maksimal karena terbentur dengan regulasi Undang-Undang (UU) Kehutanan.
Ia menambahkan selama mendampingi kelompok masyarakat adat di Papua, WWF-Indonesia juga memastikan sama sekali tidak ada menemukan kerusakan lingkungan dari aktivitasnya.
Total terdapat enam lokasi yang dibimbing dalam pelestarian hutan Papua yaitu satu kelompok di Kabupaten Jayapura, dua kelompok di Kabupaten Sarmi, dua di Kabupaten Kepulauan Yapen dan satu kelompok di Kabupaten Merauke.
"Ketika kami turun mendampingi masyarakat adat di Papua, kami mempertaruhkan kredibilitas," katanya.
Baca juga: Merawat hutan menjahit kembali selendang ibu yang robek
Menurut dia, jika pemerintah memberikan kewenangan kepada kelompok masyarakat adat di Papua dalam mengelola hutan, maka hal tersebut merupakan proses mengembalikan kepercayaan kepada mereka. Selama ini masyarakat Papua khususnya kelompok adat hanya bisa melihat dan menonton hutan dieksploitasi oleh korporasi.
Sementara itu, Sekretaris Asosiasi Pengusaha Hutan Hukum Adat Masyarakat Papua Sarmi, Septinus Cores Maban mengatakan masyarakat di daerah itu tidak bisa mengelola hutan sesuai Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA).
"Kami terkendala dan terbentur aturan," katanya.
Masyarakat adat di Papua pada umumnya tidak bisa mengekspor hasil hutan ke luar karena terbentur dengan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK). Akibatnya, mereka hanya bisa menjual untuk kebutuhan warga lokal.
Ia juga mengaku miris melihat banyaknya korporasi di Tanah Papua yang secara leluasa mengeksploitasi hutan. Sementara, masyarakat pribumi tidak bisa berbuat banyak.
Baca juga: Anggota DPRP kembali soroti keberadaan kapal di tengah hutan Nabire
Baca juga: Penerbitan izin pembangunan kawasan hutan sagu dilarang Pemprov Papua
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019