JAKARTA, 27/6 (ANTARA) - Terhambatnya proses penawaran umum perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk terasa ironis. Sebab hambatan itu justru terjadi di tengah-tengah upaya Bapepam untuk mempermudah perusahaan berkualitas melakukan listing di Bursa Efek Indonesia. Sejak awal tahun ini Bapepam menggodok sejumlah peraturan yang bertujuan mempermudah perusahaan Indonesia mencatatkan sahamnya di bursa. Di antaranya adalah aturan mengenai e-registration dan self-registration yang akan diberlakukan akhir tahun ini. "Tujuan aturan ini untuk membuat proses IPO (Initial Public Offering) atau rights issue menjadi mudah," kata Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany beberapa waktu lalu. Namun yang didapatkan Adaro bukan kemudahan, tetapi proses panjang karena banyaknya penjelasan tambahan dan dokumen pendukung yang harus diberikan kepada otoritas bursa. Perusahaan batubara terkemuka ini juga harus berhadapan dengan opini negatif yang disuarakan oleh pihak-pihak yang sebetulnya tidak memiliki kewenangan dalam proses IPO. Selain terbesar dalam target dana yang akan diraih, mungkin inilah IPO terheboh dalam sejarah pasar modal di Indonesia. Opini negatif yang berkembang sedikit banyak dapat mempengaruhi antusiasme investor untuk membeli saham Adaro yang sebetulnya cukup luar biasa. Di tengah kondisi pasar yang sedang mengalami tekanan dan bergerak fluktuatif karena kondisi perekonomian global dan inflasi tinggi, permintaan terhadap saham Adaro sudah mencapai Rp78 Triliun, atau mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) sebanyak 6,57 kali dari target semula sebesar Rp12,3 Triliun. Jika proses IPO Adaro terus tertunda tanpa ada pernyataan efektif dari Bapepam, rumors dan isu negatif yang berkembang di publik tidak mustahil berkembang semakin luas. Rumors negatif pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pasar terhadap otoritas pasar modal. Jika hal tersebut sampai terjadi, maka akan kontraproduktif dengan upaya Bapepam untuk menggenjot kapitalisasi Bursa Efek Indonesia sehingga sejajar dengan bursa-bursa terkemuka di dunia. Data BEI menunjukkan, dalam enam bulan terakhir ini indeks bursa di sejumlah negara mengalami penurunan tajam akibat tekanan harga minyak bumi yang melambung. Misalnya bursa China anjlok sampai 50 persen, bursa India turun 28 persen, Hongkong turun 20 persen, dan bursa Malaysia turun 18 persen. IHSG hanya turun sekitar 14 persen sejak awal tahun ini, namun transaksi rata-rata harian naik sebesar 38 persen dari Rp4,2 triliun tahun 2007 menjadi Rp5,8 triliun sepanjang semester pertama tahun 2008. Pangkal Kehebohan Jika dirunut ke belakang, pangkal kehebohan rencana IPO Adaro antara lain berawal dari adanya tudingan transfer pricing dari segelintir orang yang mengaku mewakili kalangan lembaga swadaya masyarakat. Mereka berkali-kali melakukan aksi unjuk rasa di Kejaksaan Agung, KPK, Ditjen Pajak, dan Bapepam, mendesak aparat penegak hukum mengusut Adaro. Kejaksaaan Agung pernah menyatakan tidak ada indikasi penipuan pajak di Adaro. Belakangan Dirjen Pajak juga menegaskan bahwa pajak Adaro tidak ada masalah. Otoritas pajak bahkan mengeluarkan tax clearance kepada perusahaan batubara terintegrasi ini. Namun isu miring terus bergulir di media massa, sampai akhirnya ditangkap oleh sejumlah anggota DPR dan diusulkan menjadi hak angket. Isu ini gagal memasuki ranah politis ketika sembilan dari sepuluh fraksi di DPR tanggal 17 Juni lalu memutuskan menolak menyelidiki lebih lanjut masalah pajak Adaro. Kehebohan yang terjadi pada sebuah perusahaan yang akan go public seperti Adaro menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah hal ini terjadi karena Adaro sebagai sebuah korporasi memang memiliki kinerja yang buruk sehingga tidak layak listing, atau akibat faktor-faktor non bisnis seperti persaingan usaha yang tidak sehat? Salah satu pemegang saham Adaro, PT Dianlia Setyamukti, sebelumnya terlibat sengketa bisnis dengan Beckkett Pte Ltd, perusahaan Singapura milik taipan Sukanto Tanoto. Dianlia yang membeli 40 persen saham Adaro dari Deutsche Bank pada tahun 2002 dituding melakukan konspirasi dan mendapatkan saham tersebut dengan cara yang melanggar hukum. Tudingan ini dipatahkan oleh hakim Pengadilan Tinggi Singapura bulan September 2007. Gugatan serupa yang diajukan oleh Winfield International Investment Ltd di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga ditolak hakim bulan April 2008. Baik pengadilan Singapura maupun Jakarta Selatan menyatakan transaksi penjualan saham Adaro dari Deutsche Bank kepada Dianlia adalah sah dan tidak melanggar hukum. Dengan kata lain, tidak ada satupun keputusan pengadilan yang melarang Adaro melakukan aksi korporasi termasuk melepaskan sahamnya kepada masyarakat. Namun faktanya, sengketa bisnis ini masih saja menjadi salah satu materi pemberitaan negatif yang dikembangkan di media massa. Tentu masalahnya akan terpulang ke Bapepam: apakah akan tunduk terhadap tekanan pihak-pihak tertentu yang membombardir calon emiten dengan isu-isu miring, atau lebih memperhatikan kepentingan makro untuk mendongkrak kapitalisasi pasar modal sehingga lebih kuat dan likuid. Kontribusi TambangSektor pertambangan sebenarnya sejak lama diramalkan akan memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan kapitalisasi pasar modal Indonesia. Saham Bumi Resources, Bukit Asam, Inco, Energi Mega Persada dan perusahaan tambang lainnya yang lebih dulu masuk bursa termasuk saham-saham yang diburu investor karena dinilai masih prospektif memberikan keuntungan jangka panjang. Masuknya Adaro ke lantai bursi berada pada momentum yang tepat di tengah harga batu bara yang terus naik. Jika Adaro sukses, perusahaan tambang batubara lainnya seperti Berau Coal dan Kideco diperkirakan akan segera menyusul listing. Langkah go public ini sedikit banyak menjawab kritik sementara kalangan yang menilai perusahaan tambang di Indonesia lebih banyak dimiliki asing dan tidak terlalu berdampak terhadap kinerja ekonomi nasional. Selain akan meningkatkan kapitalisasi pasar modal, mencatatkan saham di bursa akan membuka kesempatan kepada investor domestik untuk ikut memiliki saham perusahaan tambang dan "memaksa" perusahaan-perusahaan tambang itu menjadi lebih terbuka dan bertanggung jawab terhadap stakeholders-nya. Pencatatan saham Adaro sendiri, menurut seorang analis dari Asia Kapitalindo Sekuritas, akan membuat kapitalisasi pasar di BEI menembus angka psikologis Rp2.000 triliun. Ini sebuah kontribusi signifikan yang tidak banyak dimiliki oleh perusahaan lain di Indonesia. Kapitalisasi pasar Adaro Energy yang mencapai sekitar Rp35 triliun diperkirakan akan masuk jajaran 10 perusahaan publik terbesar di BEI. Selain calon investor, kalangan pasar modal sendiri berharap Adaro bisa segera melantai di BEI. "Masuknya saham Adaro akan menambah likuid perdagangan saham di bursa," kata Direktur Utama BEI Erry Firmansyah seperti dikutip Antara belum lama ini. Soal adanya gugatan hukum yang membelit Adaro, menurut mantan Ketua Bapepam Marzuki Uzman, perusahaan yang sedang dalam proses hukum masih bisa melakukan IPO. "Asal masalah hukum yang dihadapi itu masalah perdata. Kalau kasusnya pidana atau kriminal, jelas tidak bisa masuk bursa," katanya. Marzuki menambahkan, yang paling penting dari perusahaan yang melakukan IPO adalah memberikan keterbukaan sehingga investor mengetahui resiko jika membeli sahamnya. "Yang penting tranparansinya. Semua harta yang berhubungan dengan hukum diungkapkan secara jelas, sehingga investor dapat menilai, apakah mau beli atau tidak," jelasnya. Bapepam sendiri dikabarkan sedang terlibat negosiasi intensif dengan pemilik saham pengendali Adaro, agar mereka bersedia memberikan jaminan seandainya di masa depan ada keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkan transaksi penjualan saham dari Deutsche Bank kepada Dianlia empat tahun lalu. Sinyal positif bahwa Adaro akan segera memperoleh pernyataan efektif juga disampaikan Bapepam yang meminta Adaro mengalokasikan 30 persen saham untuk investor lokal. Banyak pihak berharap IPO terbesar dan terheboh ini akan segera dituntaskan dalam waktu dekat. Sebab semakin lama tertunda, kompleksitas masalah IPO Adaro dikhawatirkan akan bertambah dengan masuknya variabel-variabel yang sebetulnya tidak memiliki kaitan langsung dengan regulasi pasar modal. Jika hal itu yang terjadi, maka upaya penyederhanaan prosedur masuk bursa mungkin baru sebatas lipservices belaka. Ironis.

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2008