New York, (ANTARA News) - Wakil Tetap RI untuk PBB Marty Natalegawa dan para duta besar negara-negara, yang saat ini menjadi anggota Dewan Keamanan (DK) PBB, pada Rabu (waktu setempat) berkesempatan bertemu dengan Presiden AS George W. Bush di Gedung Putih. Atas undangan pemerintah AS, rombongan DK-PBB di Washington DC juga melakukan pertemuan dengan para pejabat Departemen Luar Negeri AS dan jamuan makan siang dengan Wakil Menlu AS John Negroponte. "Secara keseluruhan, kegiatan ini sangat bermanfaat. Kita dapat bertukar pikiran," kata Marty kepada ANTARA di New York, Rabu malam, setelah tiba dari Washington. Kunjungan resmi ke Washington merupakan pertama kali dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB--dewan yang saat ini beranggotakan 15 negara termasuk Indonesia. Amerika Serikat saat ini menjabat sebagai Presiden DK-PBB untuk bulan Juni. Ia mengungkapkan, pertemuan DK-PBB dan Presiden Bush berlangsung relatif singkat, hanya sekitar 30 menit. "Tapi kita sempat bertukar pikiran, kendati tidak terlalu rinci karena waktu yang terbatas," katanya. Dalam kesempatan tersebut, Bush sempat menyinggung beberapa isu yang dibahas di DK-PBB, seperti masalah di Darfur, Myanmr, Iran dan Zimbabwe. Adapun yang sempat disinggung Dewan Keamanan, termasuk Indonesia, antara lain adalah bagaimana DK-PBB menjalankan peranannya dalam menangani konflik di Timur Tengah. "Isu tersebut (Timur Tengah) cenderung `paralyzed`. Ini harus bisa diatasi," katanya. Soal Myanmar, Bush menyatakan keprihatinan AS terhadap junta militer yang dianggap kurang responsif terhadap harapan berbagai pihak. Bush juga meminta agar tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi segera dibebaskan. "Keprihatinan dan seruan agar Suu Kyi segera dibebaskan juga merupakan sikap yang sama yang dimiliki Indonesia selama ini terhadap Myanmar," kata Marty.Sementara itu, dalam pertemuan dengan pejabat Deplu AS, Dewan Keamanan sempat membahas soal konflik antara pemerintah setempat dan pemberontak di Darfur, Sudan Selatan, maupun keberadaan penggelaran pasukan gabungan PBB-Uni Afrika di Darfur (UNAMIT). Dalam kesempatan itu, Marty menekankan perlunya peningkatan perhatian terhadap proses politik. "Kita garis bawahi bahwa sementara berbagai aspek, termasuk aspek kemanusiaan dan lain-lain sama pentingnya, aspek lainnya yaitu proses politik harus juga dituntaskan," katanya. Ia mengingatkan, kelompok-kelompok pemberontak di Darfur harus lebih ditekan agar mau maju ke meja perundingan. "Faktanya adalah bahwa selama ini kelihatan kurang ada keterwakilan kelompok pemberontak dalam perundingan," katanya. Dubes RI untuk PBB itu juga mengutarakan pendapat Indonesia yang kurang sepakat terhadap keluhan bahwa UNAMIT mengalami kekurangan sumber dana dan sumber daya untuk menjalankan operasinya. "Penggelaran pasukan perdamaian UNAMIT saat ini sudah merupakan salah satu yang terbesar menyerap sumber dana dan sumber daya," kata Marty. "Masalahnya bukan di sumber dana ataupun sumber daya, tapi bagaimana sumber-sumber tersebut disalurkan. Selama ini kemampuan di lapangan untuk menyerap sumber dana dan daya terbatas. PBB harus mawas diri, apakah sudah optimal soal penyaluran sumber daya dan dana," katanya. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008