Jakarta (ANTARA) - Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan minta agar tarif cukai lebih tinggi dikenakan untuk kretek mesin golongan I karena rokok jenis itu menguasai 73 persen pangsa pasar Tanah Air.
"Kalau ingin mengurangi konsumsi, maka pemerintah harus mengerem mereka yang paling kuat, yang menguasai pangsa pasar," katanya dalam diskusi "Menakar Peluang Penerimaan Cukai 2020" di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, pangsa pasar dalam negeri saat ini dikusasi oleh sigaret kretek mesin (SKM) golongan I sebanyak 73 persen.
Baca juga: Pengamat dorong perluasan objek cukai selain rokok
Sedangkan, lanjut dia, jenis rokok sigaret kretek tangan (SKT) menguasai pasar sekitar 20 persen dan sigaret putih mesin (SPM) berkisar lima persen.
Ia mengungkapkan produsen rokok jenis SKM golongan I itu sebanyak 14 perusahaan yang semuanya merupakan produsen besar dengan harga produk yang mahal.
Per tahun, kata dia, produksi rokok dari produsen jenis SKM golongan I mencapai lebih dari tiga miliar batang.
Baca juga: Kenaikan cukai rokok, Kadin sarankan cari keseimbangan dan keselarasan
Abdillah lebih lanjut mengatakan tarif cukai untuk rokok SKM golongan 1 tahun 2018 sebesar Rp590 dan harga jual Rp1.120 per batang.
"SKM golongan I menguasai 73 persen dan harga juga mahal. Ini aneh, harga mahal tapi menguasai pangsa pasar, padahal hukum ekonomi, semakin murah semain laku. Kalau ini semakin mahal, malah semaikn laku," katanya.
Untuk itu, Ia mendorong tarif dan harga jual tersebut dikenakan lebih tinggi dari rata-rata 23 persen untuk cukai dan 35 persen untuk harga jual eceran, sehingga, angka perokok termasuk remaja, bisa ditekan.
Ia mengutip hasil survei pusat kajian jaminan sosial yang menyebutkan dari 1.000 orang responden akan berhenti merokok jika harga per bungkus mencapai Rp70 ribu.
Sementara itu, terkait nasib buruh, Abdillah mendorong agar pemerintah melarang produksi rokok SKM.
Selain itu, Ia mengharapkan impor tembakau juga dibatasi untuk melindungi petani dalam negeri.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019