Cirebon (ANTARA News) - Pakar ekonomi, Dr Rizal Ramli menyambut baik pengajuan hak angket oleh DPR, karena lebih mempunyai kekuatan hukum untuk melakukan investigasi atas biaya produksi minyak mentah dan biaya produksi bahan bakar Pertamina yang dianggap terlalu mahal. "Hak angket lebih berbobot dibanding hak interpelasi, karena hak angket, bisa memaksa secara hukum pejabat pemerintah untuk dimintai keterangan, supaya bisa dibongkar kebijakan kenaikan BBM yang sebenarnya bukan yang paling baik dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia," katanya kepada wartawan di Hotel Zamrud, Kota Cirebon, Rabu. Ia menjelaskan, hak angket bisa bermanfaat untuk dilakukan investigasi atas biaya produksi BBM oleh Pertamina yang merupakan biaya produksi tertinggi di Asia, yaitu 20 persen lebih tinggi dibanding negara lain, serta investigasi adanya mafia impor minyak Indonesia yang mengutip dua dollar setiap impor 300.000 barrel per hari. "Nanti juga harus dibongkar 'Mr Two Dollar' di Singapura yang selama ini mengutip dua dollar per barrel atas minyak impor Indonesia. Orang itu tidak ada tanpa dukungan kekuasaan di Indonesia. Ini perlu dibongkar melalui penyidikan," tegasnya. Ia juga mengaku gembira karena sejumlah fraksi yang tadinya menolak hak angket akhirnya menyatakan mendukung hak angkat. "Ini berkat perjuangan pergerakan dan para mahasiswa yang terus mendesak agar Pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM," katanya. Ia juga menyangsikan, besaran subsidi BBM yang diumumkan pemerintah dan ekonom karena hitungannya tidak benar dan ada ketidakefisienan baik Pertamina maupun di PLN. Ia mencontohkan, misalnya sebuah pabrik sepatu memproduksi dengan harga Rp100 ribu, jika dijual di dalam negeri harganya Rp150 ribu dan jika dijual di New York harganya Rp200 ribu, maka kemudian selisih harga jual itu disebut subsidi sebesar Rp50 ribu. "Ini penyalahgunaan dari istilah subsidi, dan itu menyesatkan, karena yang sebenarnya adalah oportunity cost atau kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan yang lebih besar," katanya. Ia mengatakan, pendiri Republik Indonesia (RI) Soekarno, Hatta dan Syahrir, sudah menggariskan bahwa dalam memenuhi kebutuhan hajat hdup orang banyak maka Pemerintah harus campur tangan dan itulah perbedaan sistem ekonomi Indonesia dengan sistem ekonomi kapitalis. "Oleh karena itu bahan bakar dan sembako sebanarnya tidak bisa dilepaskan dengan harga pasar karena negara ini bukan negara kapitalis. Kecuali barang mewah yang bisa dilepaskan di mekanisme pasar," katanya. Mahkamah Konstitusi menurut Rizal juga sudah membatalkan UU Migas tahun 2001 karena memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. (*)

Copyright © ANTARA 2008