Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SiPongi Karhutla Monitoring System, rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia saat ini mencapai 328.722 hektare (ha). Kondisi ini, berdasarkan perkiraan WWF-Indonesia bisa menjadi sama buruknya dengan kondisi tahun sebelumnya yang mencapai 510.564,21 ha jika tidak memperoleh dukungan dan inovasi penanganan dengan baik.
Direktur Policy and Advocacy WWF-Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan berdasarkan data yang diperoleh Eyes of the Forest dalam tujuh hari terakhir, karhutla terlihat terjadi di wilayah konsesi maupun nonkonsesi. Kebakaran hutan dan lahan sejauh ini terjadi di wilayah Area Penggunaan Lain (APL) bahkan di wilayah yang notabene merupakan area konservasi.
Area-area yang juga banyak terbakar terpantau terjadi di sekitar atau bersebelahan dengan konsesi, lanjutnya.
Karhutla, menurut Aditya, terjadi di lahan mineral maupun gambut, dan sama-sama terbakar yang diduga untuk pembukaan lahan. Kondisi yang membedakan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dengan negara lain yakni, lahan dibakar dalam konteks kesengajaan untuk kemudian dikuasai lahannya.
Presiden Joko Widodo usai meninjau lokasi karhutla di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau, mengatakan luas area terbakar saat ini sangat besar, kondisi tersebut dapat terjadi diduga karena karhutla yang dilakukan secara terorganisasi. Dirinya juga mengingatkan bahwa upaya penindakan hukum bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran yang menyebabkan terjadi karhutla akan dilakukan oleh Kapolri.
Ia juga meminta agar masing-masing pihak menjalankan komitmen pencegahan kebakaran hutan dan lahana agar peristiwa yang terjadi saat ini tidak terulang di masa depan. Jika kebakaran hutan dan lahan terlanjur terjadi dan tidak ada upaya pemadaman dengan segera tentu akan semakin sulit.
Jokowi mengingatkan agar mengedepankan pencegahan karhutla dibanding penanganan karhutla. Pencegahan akan membutuhkan dana yang tidak banyak, dan itu akan lebih efektif.
Penderita ISPA
Sebanyak 39.277 warga di Provinsi Riau menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat polusi kabut asap kebakaran hutan dan lahan atau yang mulai pekat sejak Agustus hingga awal September. Asap mulai pekat pada akhir Juli dan mulai Agustus jumlah pasien ISPA meningkat.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Nazir mengatakan jumlah penderita ISPA meningkat dibandingkan Juli 2019 yang mencapai 27.563 orang, menjadi 29.346 orang pada Agustus dan hingga tanggal 11 September jumlahnya sudah mencapai 9.931 orang.
Mimi menjelaskan, penderita ISPA selama bulan Agustus paling banyak di Kota Pekanbaru yakni lebih dari 7.377 orang. Kemudian di Kabupaten Kampar ada sekitar 4.152 orang, Siak 4.616 orang dan Kota Dumai ada 3.932 pasien.
Ia mengatakan seluruh Puskesmas di 12 kabupaten/kota sudah disiagakan sebagai posko untuk menangani masyarakat yang terpapar asap Karhutla. Warga juga tidak dipungut biaya untuk berobat ke Puskesmas.
Sementara itu, Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution menyatakan pihaknya sudah merespon dengan cepat untuk mengantisipasi dampak kabut asap Karhutla. Selain meliburkan sekolah sejak awal pekan ini, Pemprov Riau melalui Dinas Kesehatan juga sudah mendistribusikan masker kepada masyarakat dan daerah-daerah yang dilanda kabut asap.
Baca juga: WWF-Indonesia usul Indonesia darurat karhutla selamatkan hutan tersisa
“Sudah ada 600 ribu masker yang dibagikan,” katanya.
Sementara itu, sebanyak 2.188 balita di Sumatera Selatan terkena infeksi saluran pernapasan akut akibat kabut asap yang merupakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan sejak beberapa bulan terakhir. Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Sumatera Selatan (Sumsel) Mulyono mengatakan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Selatan telah menyebabkan kabut asap yang pekat.
“Hal ini tentunya berdampak pada meningkatnya jumlah penderita ISPA, khususnya bagi balita,” kata dia.
Ia mengatakan tingginya penderita ISPA pada balita karena gizi yang diterima pada balita digunakan untuk imunitas dan pertumbuhan, sehingga ketahanan tubuh yang dimiliki lebih rendah dibandingkan orang dewasa yang gizinya hanya digunakan untuk imunitas. Hal itu membuat balita lebih rentan terkena ISPA. Selain faktor lingkungan, faktor udara yang tak sehat juga bisa menjadi penyebabnya.
Mulyono mengatakan Dinas Kesehatan Sumsel telah menerbitkan surat edaran kepada seluruh kabupaten/kota yang terdampak kabut asap agar melakukan antisipasi pencegahan ISPA selama musim kemarau. Edaran itu meminta seluruh staf Dinas Kesehatan untuk menyiagakan fasilitas pelayanan kesehatan seperti Posko Kesehatan Desa (Poskesdes), Puskesmas Pembantu (Pustu), Puskesmas, dan rumah sakit.
Tuntutan darurat asap
Direktur Konservasi WWF-Indonesia Lukas Adhyakso dalam diskusi Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan yang Tersisa di Jakarta, Selasa, mengajak semua pihak lebih memiliki kepedulian untuk memadamkan api.
Penyebab kebakaran, menurut dia, sangat kompleks. Selain karena cuaca kering, kondisi alam yang buruk, kawasan yang begitu luas harus dijaga juga karena masih maraknya pembukaan lahan secara ilegal.
WWF-Indonesia, lanjutnya, sudah merasa kewalahan menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi disekitar fasilitas dan lokasi program konservasi yang dijalankan di Sumatera dan Kalimantan, contohnya seperti di Hutan Lindung Gambut Londerang di Jambi, sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Riau, sekitar Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, sekitar Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah.
Kawasan-kawasan hutan tersebut, ia mengatakan selama ini sudah WWF-Indonesia coba pertahankan untuk tidak terbakar, namun pihaknya kewalahan. Masih banyak wilayah lain yang saat ini juga masih terbakar.
“Kita perlu tingkatkan upaya bersama, dan supaya ini menjadi darurat karhutla Indonesia. Kita butuh semua pihak padamkan api bersama, dan ke depan perlu ditingkatkan kepedulian semua pihak agar kejadian seperti ini tidak berlanjut,” kata Lukas.
Sementara itu, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto mendesak pemerintah menetapkan musibah kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana asap nasional. Pemerintah Pusat perlu mengambil alih penanggulangan bencana asap karena pemerintah daerah belum serius merespon bencana asap. kata kata Cak Nanto dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan setiap unsur pemerintah agar berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memadamkan api karhutla di Riau dan Kalimatan Tengah. Cak Nanto juga mendesak agar semakin banyak disediakan rumah aman dari asap bagi warga dengan standar yang baik seperti adanya ketersediaan oksigen dan vitamin serta obat-obatan.
Bagi rumah sakit negara, kata dia, agar menyediakan obat-obatan gratis, vitamin dan keperluan medis lainnya tanpa biaya hingga tingkat kecamatan/desa bagi korban asap.Tidak kalah penting, lanjut dia, pemerintah untuk meninjau ulang bahkan jika diperlukan pencabutan ijin konsesi perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan.
"Mendesak Kapolri dan penegak hukum lainnya untuk mengusut tuntas dan menegakkan hukum seadil-adilnya kepada pelaku pembakaran hutan khususnya di lahan konsesi korporasi," katanya.
Cak Nanto juga meminta unsur Pemuda Muhammadiyah se-Indonesia untuk berkontribusi memberikan pertolongan bagi korban asap dengan berkoordinasi dengan MDMC Muhammadiyah dan pihak-pihak yang terkait.
Sejumlah aktivis lingkunganpun juga telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang berisi 10 tuntutan berisi agar evaluasi dilakukan di kementerian terkait. Selain itu mereka meminta agar Presiden segera melakukan langkah darurat karhutla, membangun sistem respon cepat, memastikan hak masyarakat yang terdampak asap.
Baca juga: Koalisi Sipil dorong respon cepat pemerintah atasi asap karhutla
Baca juga: Presiden Jokowi tegaskan pentingnya upaya pencegahan Karhutla
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019