Banjarmasin (ANTARA News) - Guna mewujudkan "Good Governance" (tata kelola pemerintahan yang baik) dan memberantas korupsi, Indonesia harus berani membuat Undang Undang (UU) pembuktian terbalik, ujar Ir.Anang Rosadi Adenansi, anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).Tanpa Undang Undang pembuktian terbalik, tampaknya sulit memberantas korupsi di Indonesia yang seakan sudah kronis dan membudaya, sehingga jauh untuk bisa mencapai `Good Governance` sebagaimana keinginan dan tekad bersama dalam gerakan reformasi, tandasnya dalam percakapan dengan ANTARA Banjarmasin, Selasa.Pasalnya dengan sistem perundang-undangan yang berlaku selama ini, tampaknya aparat penegak hukum masih kesulitan untuk mencari pembuktian atas suatu dugaan perbuatan korupsi di Indonesia, sehingga tanpa bukti cukup dan kuat, pelaku tindak pidana korupsi bisa melenggang seenaknya."Namun tidak menutup kemungkinan pula aparat penegak hukum bisa berlindung dengan sistem perundang-undangan yang berlaku selama ini, untuk ikut menikmati hasil tindak pidana korupsi tersebut," lanjut "vokalis" Fraksi PKB DPRD Kalsel itu, dengan didampingi seorang pengacara muda, Samsu Saladin, SH. "Tapi dengan Undang Undang pembuktian terbalik, siapapun tak bisa berbuat seenaknya memperkaya diri sendiri, sebab terhadap diri yang bersangkutan dapat dituduh korup, terkecuali alur pendapatan atau penghasilan jelas serta rasional," demikian Anang Rosadi. Sementara Samsu Saladin, alumnus Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, mengungkapkan, dulu atau sekitar tahun 1980-an pernah ada wacana mau terbitnya Rancangan Undang Undang Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik. "Tapi rencana pembuatan RUU Korupsi dengan pembuktian terbalik itu, rupanya hanya sekedar wacana. Namun pemerintah dan DPR RI selaku pembuat Undang Undang belum berani merealisasikan," lanjutnya. Ketidak beranian membuat UU Korupsi dengan pembuktian terbalik itu patut menjadi pertanyaan kalangan reformis. "Apakah karena ada kepentingan di balik ketidak beranian tersebut ataukah disebabkan ketiadaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu merancang UU dimaksud," katanya. "Kalau soal SDM saya kira tak masalah, tapi kemungkinan bila UU Korupsi dengan pembuktian terbalik bisa merepotkan banyak pejabat negara dan anggota yang terhormat," kata Saladin.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008