Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan untuk Pemilih Rakyat (JPPR) Jeiry Sumampouw berpendapat, berkaca pada tiga Pilkada di daerah padat penduduk (Jabar, Sumut dan Jateng) jelas terlihat kurangnya antusiasme masyarakat dalam penyelenggaraan agenda demokrasi itu."Proses pemungutan suara di hari H Pilkada di Jateng, Jabar dan Sumut memang relatif aman, lancar dan cukup tertib. Namun secara umum terlihat masyarakat kurang antusias," katanya di Jakarta, Selasa.Khusus Pilkada Jateng, menurut Jeiry Sumampouw, JPPR yang hampir di semua Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang menjadi sampel terlihat sepi sejak pagi sampai siang."Jika dibandingkan dengan Pemilu lalu atau Pilkada kabupaten dan kota, yang terjadi adalah kualitas partisipasi masyarakat dalam Pilgub ini jauh menurun," katanya.Masyarakat tak punya motivasiBerdasarkan pengolahan data lapangan oleh JPPR, katanya, perkiraan golput mencapai lebih dari 40 persen."Alasannya pertama, data pemilih yang buruk. Banyak warga masuk daftar pemilih tetap (DPT) padahal mereka tidak lagi berdomisili di daerah itu," ujarnya. Kedua, apatisme masyarakat semakin tinggi. "Ini terlihat dari tidak antusiasnya masyarakat datang memilih di TPS, sehingga TPS sepi-sepi saja," paparnya. Ia juga melihat banyaknya masyarakat yang dengan sengaja tidak mau datang mencoblos karena alasan kerja dan ada juga yang beralasan karena kartu pemilihnya di kabupaten atau kota lain. "Intinya ada banyak warga yang lebih memilih tetap kerja, ketimbang mencoblos di TPS," tuturnya.Faktor ketiga, menurut Jeiry Sumampouw, menyangkut sosialisasi KPU yang tak maksimal dan tidak efektif. "Umumnya sosialisasi itu hanya di daerah perkotaan dan ditempat-tempat ramai saja," katanya. Selanjutnya faktor keempat menyangkut kerja-kerja parpol dan tim sukses kandidat yang tidak efektif membangkitkan motivasi masyarakat. Kampanye tak punya alasan yang jelas"Selain sosialisasi KPU tak maksimal dan kampanye para pengurus maupun kader Parpol serta tim sukses kandidat tidak efektif, juga kampanye di banyak daerah yang sudah dijadwalkan tidak dilaksanakan tanpa alasan yang jelas," ungkapnya. Sementara itu, yang kelima, menyangkut hari H pelaksanaan Pilkada pada hari Minggu. "Seperti juga di Jabar, maupun di beberapa daerah lainnya, pemilihan hari Minggu itu sangat beresiko terhadap menurunnya jumlah warga ke TPS. Banyak orang sedang bepergian, atau mengikuti acara keluarga, rekreasi atau ada juga yang beribadah bagi umat Kristiani," jelasnya. Kesimpulan JPPR menunjukkan bahwa daerah-daerah yang menggelar Pilkada pada hari Minggu, seperti Jabar dan Jateng, terbukti tingkat partisipasi pemilih cenderung rendah.Publik tidak optimis memilih Kemudian ada juga faktor keenam yang menyebabkan mengapa tingkat partisipasi kian melorot, yakni pasangan calon tak mampu membangkitkan optimisme publik untuk memilih. Padahal, menurutnya, peran para calon itu sangat signifikan untuk memacu spirit para warga agar punya kegairahan datang mencoblos di TPS pada hari H Pilkada. "Ketidakmampuan para calon membangkitkan optimisme publik untuk memilih ini perlu mendapat perhatian di masa mendatang. Merekalah salah satu faktor kunci meningkatkan partisipasi publik dalam Pilkada dan bukan sebaliknya," katanya. Jeiry Sumampouw berkesimpulan, fakta di lapangan menunjukkan para pasangan calon di pilkada itu sesungguhnya tidak terlalu diterima masyarakat secara umum.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008