Fraksi-fraksi di DPR menginginkan adanya "pagar" dalam penjelasan di RUU KUHP agar tidak menjadi pasal karet.
Jakarta (ANTARA) - Majelis Ormas Islam (MOI) menyebutkan bahwa masyarakat semestinya bisa melaporkan perbuatan zina yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana dalam RUU KUHP, selain orang tua, anak, suami, dan istrinya.
"Perbuatan perzinaan dan perbuatan cabul yang diketahui masyarakat, dapat dilaporkan oleh masyarakat dan atau Ketua RT/RW," kata Wakil Ketua Presidium MOI Ir Nazar Haris, MBA, di Jakarta, Selasa.
Pernyataan itu tertuang dalam poin ketiga dari enam poin pernyataan sikap dari MOI menyikapi pembahasan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan DPR.
Poin pertama, perbuatan cabul antara manusia yang berlawanan maupun sesama jenis adalah tindakan pidana.
Meskipun dilakukan tidak di depan umum (ruang tertutup), tidak secara paksa, tidak dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, dan meskipun korban melakukannya dengan sukarela.
Kedua, bahwa perilaku memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut kepada orang lain, atau sebaliknya adalah tindakan pidana, meskipun tanpa kekerasan dan tanpa ancaman Kekerasan.
Kemudian, keempat bahwa kegiatan pelacuran dan bentuk kekerasan seksual lainnya, tetap masuk dalam tindak pidana, meskipun tidak dilakukan dengan paksaan.
Kelima, negara harus membangun lembaga rehabilitasi terhadap penderita penyakit kelainan jiwa seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sehingga dapat kembali normal dan produktif bagi bangsa dan negara.
"Keenam, negara harus menjaga umat Islam dari pengaruh aliran-aliran sesat sesuai keputusan MUI Pusat," kata Nazar.
Ketua Presidium MOI H Mohammad Siddik mengatakan akan menyampaikan masukan tersebut kepada DPR maupun lembaga di luar DPR.
"Kita melihat ada kejanggalan, telihat seperti menyegerakan, tiba-tiba. Padahal, UU sebenarnya memerlukan waktu (pembahasan) lebih banyak agar tidak menimbulkan keraguan," katanya.
Presidium MOI diisi sejumlah ormas, yakni Persatuan Umat Islam (PUI), Mathla’ul Anwar (MA), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persatuan Islam (Persis), Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi).
Kemudian, Hidayatullah, Al-Ittihadiyah, Al-Jam’iyatul Washliyah, Syarikat Islam, Al Irsyad Al Islamiyah, Wahdah Islamiyah, dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKsPPI).
Sebelumnya, Panitia Khusus (Pansus) RUU KUHP telah menyelesaikan pembahasan dan perumusan RUU tersebut, dan tinggal menyempurnakan penjelasan beberapa pasal di dalamnya, Senin (16/9).
Baca juga: DPR selesaikan pembahasan RUU KUHP
Baca juga: PSI tolak pengesahan revisi KUHP
Baca juga: DPR didesak tunda pengesahan Rancangan KUHP
Anggota Pansus RUU KUHP Arsul Sani mengatakan ada beberapa pasal sebagai bentuk sebuah politik hukum, fraksi-fraksi di DPR menginginkan adanya "pagar" dalam penjelasan di RUU KUHP agar tidak menjadi pasal karet.
Arsul mencontohkan pasal-pasal terkait delik kesusilaan, perzinaan, kumpul kebo, dan perbuatan cabul termasuk yang melibatkan sesama jenis.
"Ini kita beri batasan, misalnya terkait perzinaan, kumpul kebo dan hidup bersama, disepakati merupakan delik aduan. Namun yang mengadu diperluas, kalau KUHP saat ini yang bisa mengadukan hanya suami atau istri, namun saat ini diperluas menjadi orang tua dan anaknya," ujarnya.
Tahapan selanjutnya, kata dia, tenaga ahli DPR dan ahli bahasa sedang memperbaiki hal-hal yang sifatnya redaksional, setelah itu nanti diambil dalam keputusan tingkat I di Komisi III DPR dan pleno Komisi III DPR.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019