Brisbane6 (ANTARA News) - Tanggal 22 dan 24 Juni 2008 malam, publik Australia kembali berkesempatan menyaksikan kilas balik perjalanan kisah kasus seorang Schapelle Leigh Corby berikut dengan beberapa serpihan fakta yang selama ini "terkubur". Adalah Stasiun Televisi "Channel Nine" (Saluran Sembilan) Australia yang memberikan suguhan rajutan rangkaian fakta "terkubur" itu dalam film dokumenter berjudul "Schapelle Corby: The Hidden Truth" (Schapelle Corby: Kebenaran yang Tersembunyi". Film dokumenter yang bagian pertamanya berdurasi 120 menit itu juga seakan menjadi antitesis dari buku berisi kisah wanita asal Gold Coast, Queensland, yang terbit tahun 2006 lalu. Buku itu berjudul "My story - Schapelle Corby with Kathryn Bonella" (Sydney: Pan Macmillan Australia). Dalam bagian pertama film yang diproduseri Janine Hosking dengan lebih dari tiga setengah tahun pengambilan gambar dan riset ini, mereka yang menyaksikan tayangannya di "Channel Nine" Minggu malam (22/6) dapat melihat betapa Corby piawai bersandiwara. "Help me... Help me Australia!" (Tolong saya ... Tolong saya Australia!) adalah ungkapan populer dirinya saat masih berjuang menghadapi proses pengadilan atas kasus kepemilikan 4,2 kg mariyuana tahun 2005 untuk menarik simpati dan meyakinkan publik di negaranya bahwa dia tak bersalah. Namun serpihan-serpihan fakta "baru" yang tersaji di film dokumenter "Channel Nine" itu telah mengungkap tabir opera sabun Corby di balik ungkapan memelasnya untuk menarik simpati rakyat Australia bahwa dia hanyalah korban, bukan pelaku itu. Di dalam tayangan bagian pertama film dokumenter tersebut, terungkap bagaimana ungkapan memelas itu merupakan sesuatu yang dipersiapkan dalam pertemuan dirinya dengan Ron Bakir, pengusaha asal Gold Coast yang menjadi pendukung setianya saat itu. Bahkan, lewat kamera tersembunyi tim peliput "Channel Nine" ketika itu, terlihat wanita yang divonis hakim bersalah dan dihukum 20 tahun penjara dalam kasus kepemilikan 4,2 kg mariyuana tahun 2004 ini sempat berlatih mengucapkan kata-kata itu. "Saya (sebenarnya) benci menangis...," kata wanita asal Gold Coast, Queensland, yang dijuluki the "Ganja Queen" (Ratu Ganja) oleh media di Australia dan Indonesia itu. Film tersebut pun mengungkapkan bagaimana Robin Tampoe, pengacara yang menangani kasus Corby, sempat merancang skenario bahwa alibi bungkusan 4,2 kg mariyuana tersebut tidak terjadi di Bandar Udara Brisbane atau Sydney melainkan Ngurah Rai Bali. Namun skenario itu kemudian tidak dilanjutkan Tampoe. Sebaliknya, telunjuk pengacara Corby ini justru mengarah ke petugas bandar udara Australia yang menangani kopor-kopor penumpang sebagai satu-satunya kemungkinan yang tersisa. Menurut dia, para petugas yang menangani kopor-kopor penumpang inilah pihak yang mungkin telah memasukkan mariyuana itu ke sarung tas papan selancar Corby. Terhadap skenarionya yang terakhir ini, Robin Tampoe mengaku bahwa dia merekayasa teori lemah tentang keterlibatan petugas bandar udara Australia itu. Di tengah klaim Corby bahwa dia tidak bersalah, serta dukungan kuat dari orang-orang terdekatnya, seperti orang tua dan kakak perempuannya yang bersuamikan pria Bali, posisi Corby justru dipersulit oleh pengakuan Tony Lewis, orang yang disebut "Channel Nine" sebagai tetangga, teman ayah Corby dan "penanam ganja". Melalui teknik jurnalisme investigatif yang ditandai dengan pemakaian kamera tersembunyi, film dokumenter yang bagian terakhirnya ditayangkan Selasa malam (24/6) itu merekam secara jelas berbagai pernyataan dan langkah taktis Corby, Ron Bakir, dan orang-orang yang mendukung penanganan kasusnya untuk mencapai hasil maksimal. Suasana pertemuan internal tim pembela Corby pun terekam dengan baik. Film ini mewawancarai banyak pihak mulai dari orang-orang terdekat Corby, tetangga, dan tim pengacara (Australia dan Indonesia) hingga seorang petugas imigrasi Bali. "The Herald Sun" menyakini bahwa persepsi publik Australia terhadap Corby yang sejak 20 Juni lalu dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar karena depresi ini akan berubah menyusul penayangan film dokumenter ini. Sentimen Publik Pada saat kasusnya ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia pada 2004-2005, pemberitaan media cetak dan elektronika Australia yang sedemikian rupa telah membentuk opini publik bahwa Corby "tidak bersalah". Saat opini publik Australia masih berpihak kepada Corby, KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya sempat menjadi sasaran kekesalan orang-orang yang tidak bertanggung jawab di negara itu. Beberapa bentuk kekesalan mereka yang bersimpati kepada "nasib" Corby ketika itu adalah pengiriman surat bernada ancaman dan paket berisi "serbuk putih" yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra, serta vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney. Bahkan, para staf Konsulat RI di Perth, Australia Barat, menerima surat berisi ancaman pembunuhan. Isi surat tulisan tangan itu menyebutkan bahwa "Jika Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, anda semua (staf konsul-red) akan menerima setiap peluru ini menembus otak." Insiden surat ancaman mati yang diterima Konjen RI di Perth itu mengundang reaksi simpatik dari pemerintah dan politisi Australia, termasuk Kevin Rudd yang pada 2005 itu merupakan juru bicara Partai Buruh Australia untuk Urusan Luar Negeri. Rudd yang kini perdana menteri Australia ini menyatakan bahwa ia "sangat terganggu" dengan insiden surat ancaman pembunuhan itu. Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu saat itu, Imron Cotan, mengakui bahwa kasus Corby mempengaruhi sentimen "sebagian kecil" masyarakat Australia namun tidak mengganggu hubungan kedua negara yang semakin baik. Sentimen negatif publik Australia terhadap Indonesia yang dipicu oleh kasus Corby merupakan fakta sejarah dinamika hubungan negara dan bangsa yang tak terbantahkan. Dalam 40 tahun terakhir, kondisi hubungan kedua negara cenderung "sangat fluktuatif". Kondisi hubungan yang bak "roller coaster" (kereta luncur) itu didukung pula oleh kesimpulan studi akademis banyak Indonesianis Australia, seperti Peter McCawley (2008), Andrew MacIntyre dan Douglas E Ramage (2008), serta Rodd McGibbon (2006). Terlepas dari kondisi hubungan di tingkat pemerintah kedua negara yang semakin kuat dan stabil pasca-insiden 42 pencari suaka politik asal Papua di era pemerintahan John Howard tahun 2006, hubungan di tingkat rakyat kedua negara belum sebaik pemerintah. Tantangan jangka panjang dalam hubungan Indonesia-Australia, seperti ditegaskan hasil kajian MacIntyre dan E Ramage (2008), adalah masalah ketidakpercayaan di tingkat publik dan lebarnya jurang pemisah antara konsensus para elit pembuat kebijakan di kedua negara. Argumentasi mereka ini didukung oleh hasil survei Lowy Institute (19 Juni-16 Juni 2006) dan hasil survei Universitas Sydney (Oktober 2007). Dalam survei yang dilakukan lembaga kajian berbasis di Sydney itu, terungkap bahwa mayoritas responden Australia masih menganggap Indonesia ancaman bagi keamanan Australia. Sebaliknya, mayoritas responden Indonesia pun masih melihat Australia sebagai negara yang suka ikut campur dalam urusan Indonesia dan berkeinginan memisahkan Papua dari Negara Kesatuan RI. Temuan dalam survei Lowy Institute ini dipertegas oleh hasil survei Universitas Sydney yang melibatkan 1.213 orang responden warga Australia setahun kemudian. Di mata banyak responden, Indonesia belum bisa menjadi mitra dekat keamanan Australia dalam lima atau 10 tahun mendatang. Setelah kasus Corby tahun 2005, tidak berarti bahwa hubungan dua negara dan bangsa yang saling bertetangga ini akan terbebas dari gesekan akibat sentimen negatif publik masing-masing negara karena potensi sumber masalahnya ada di depan mata. Dalam kasus penyelundupan 11,25 kg heroin 17 April 2005 yang melibatkan sembilan warga Australia atau yang kemudian dikenal dengan kasus "Bali Nine", potensi masalahnya bertumpu pada hukuman mati kepada beberapa terpidana. Kekhawatiran akan pecahnya kembali sentimen negatif publik Australia yang kemudian memicu reaksi banyak kalangan di Indonesia bukanlah sebuah isapan jempol karena Scott Anthony Rush misalnya adalah salah satu terpidana mati dalam kasus "Bali Nine". Sulit membayangkan bagaimana reaksi publik Australia jika Rush sampai dieksekusi mati oleh regu tembak Polri pada saatnya nanti sebagaimana yang telah dialami beberapa terpidana mati kasus Narkoba atau yang cepat atau lambat juga akan dialami terpidana kasus terorisme, Amrozi dan kawan-kawan? Dalam persoalan hukuman mati, Indonesia menganut rezim hukuman mati, sedangkan Australia bersikap "inkonsisten" dalam masalah ini. Bagi Australia, para terpidana mati insiden Bom Bali 2002 boleh dihukum mati tapi tidak halnya dengan para warga negaranya. Australia sendiri sudah menghapus eksekusi mati terhadap para narapidana sejak keluarnya UU Penghapusan Hukuman Mati 1973. Orang terakhir yang dihukum mati di negara itu Australia adalah Ronald Ryan pada 1967. Kendati menyadari prinsip "trias-politik" dimana eksekutif tak boleh memengaruhi independensi lembaga yudikatif dalam sistem demokrasi, pemerintah kedua negara agaknya sulit untuk menafikkan opini dan sentimen publik masing-masing. Dalam konteks ini, kepiawaian dan kedewasaan pemerintah, parlemen, dan media massa kedua negara sangat dituntut dalam mengelola masa depan hubungan dan kepentingan bersama kedua bangsa yang lebih besar di tengah tantangan yang ada.(*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008