Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendorong isu aneksasi Tepi Barat oleh Israel dibahas dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB dan Sidang Majelis Umum PBB.
Pada Minggu (15/9), OKI mengadakan Sidang Luar Biasa Tingkat Menteri di Jeddah, Arab Saudi, guna menanggapi pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang dalam kampanye berjanji akan mencaplok area-area vital di Tepi Barat di Lembah Jordania dan blok-blok permukiman utama, jika dirinya memenangi pemilu Israel yang akan diselenggarakan 17 September 2019.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard yang mewakili Indonesia dalam sidang luar biasa tersebut, mengatakan OKI mengecam wacana Netanyahu yang dinilai ilegal dan kontradiktif dengan seluruh resolusi PBB mengenai Palestina.
Baca juga: Negara OKI akan bertemu bahas rencana Israel duduki paksa Tepi Barat
“Karena kalau (aneksasi) itu terjadi, sebesar 30 persen wilayah Palestina akan hilang,” kata Febrian dalam temu media di Jakarta, Senin.
Karena itu, Indonesia berharap OKI dapat menyerukan kepada masyarakat internasional untuk dapat memberikan dukungan kepada Palestina dan tidak mengakui tindakan ilegal Israel, serta meminta tindakan Israel tersebut dapat dibahas dalam DK PBB dimana Indonesia dan Kuwait menjadi anggotanya.
Selain itu, Indonesia juga mengusulkan agar isu ini dibawa ke Sidang Majelis Umum PBB yang akan berlangsung di New York, Amerika Serikat, pada 17-24 September 2019.
Baca juga: Dubes tegaskan Indonesia dan OKI dukung Palestina
“Di Sidang Majelis Umum PBB semua (anggota OKI) ada di sana. Sebanyak 57 (negara) anggota OKI cukup kuat untuk mendorong adanya sesi khusus untuk merespons isu ini,” kata Febrian.
Febrian menyebutkan bahwa isu Palestina sudah dibahas sekitar 13 kali di sidang DK PBB. Ke depannya, ia menambahkan, DK PBB akan terlebih dahulu melihat langkah yang diambil PM Netanyahu.
"Kita lihat dulu, nanti dia menang pemilu atau tidak? Lalu kalau menang, apakah dia benar-benar akan melaksanakan janjinya?," kata dia.
Resolusi DK PBB Nomor 2334 Tahun 2016 secara jelas menyatakan bahwa perubahan terhadap garis batas tahun 1967 tidak diakui oleh DK PBB.
Baca juga: Indonesia desak internal Palestina harus bersatu
Indonesia juga menilai rencana aneksasi Israel sangat terkait dengan isu hukum dan kemanusiaan. Proyek pembangunan pemukiman di wilayah Palestina merupakan salah satu kendala terhadap kemajuan negosiasi, serta menyebabkan pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat Palestina.
“Yang jelas, OKI sudah punya posisi. (Janji kampanye Netanyahu) ini tidak bisa diterima karena berkaitan dengan masalah legalitas dan isu kemanusiaan,” ujar Febrian.
Karena itu, Indonesia meminta OKI dapat mencegah upaya Israel mengubah komposisi demograsi di wilayah Palestina dan menjaga komitmen terkait solusi dua negara dengan dasar garis batas tahun 1967, prinsip kemandirian (self-determination) bagi masyarakat Palestina, serta Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019